Selanjutnya, nilai tawar politik itu bisa digunakan membentuk atau bergabung dengan partai yang lebih besar. Sehingga memberikan kesempatan untuk bisa mendapatkan posisi dan keuntungan politik.
Dengan begitu, partai baru ini muncul dengan tujuan pragmatis untuk mendukung misi politik para tokoh nasional maupun di daerah. “Tapi kadang-kadang memang ada kesalahpahaman bahwa dipikir karena tokoh lalu mudah membentuk partai,” imbuh Ali.
Padahal, sebelum-sebelumnya sudah terlihat bahwa banyak partai dibentuk tokoh nasional, kemudian lolos menjadi peserta, tetapi tidak mampu bertarung karena ketidakmampuan melakukan konstitusinalisasi dan menciptakan identifikasi pemilih. “Jadi bukan suatu hal yang mudah dilakukan,” tegasnya.
Baca Juga:Kader Posyandu Ikuti Pembinaan Cegah Kasus StuntingWujudkan ODF, Kelurahan Jayaraksa Kota Sukabumi Bangun 12 Septic Tank Komunal
Bersamaan dengan itu, parpol baru yang lolos sebagai peserta pemilu, baru akan memulai kerja-kerja elektorat. Hal ini berbeda dibanding parpol lama, yang telah stabil serta sudah punya wakil di parlemen.
“Dengan demikian, parpol baru memiliki waktu yang lebih terbatas memperkenalkan diri dan membangun engagment (kedekatan) dengan pemilih,” kata A Luhur Prianto, analis politik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar.
Beberapa parpol baru ini juga merupakan peserta Pemilu 2019. Kekuatan elektoral mereka sudah terukur, namun belum terlihat juga usaha yang lebih baik dari kerja elektorat pada Pemilu sebelumnya.
Sehingga partai politik baru ini butuh “dentuman” yang menghentak jagat politik lokal di Sulsel. Tanpa sebuah diferensiasi, khususnya dalam ketokohan pimpinan, rekrutmen kader, pemasaran politik, dan penguatan organisasi partai, partai baru ini hanya akan mengulang kegagalan partai baru pemilu sebelumnya.(mum/zuk-dir/fajar)