Ketika merek-merek lain memilih menyamarkan warna headset mereka dengan warna hitam agar tidak mencolok, Apple justru mengambil pendekatan berbeda dengan memberikan warna putih pada headset-nya.
Mereka kemudian membuat iklan yang menampilkan orang-orang yang sedang menari menggunakan headset putih tersebut untuk menunjukkan bahwa pengguna produk Apple adalah orang-orang yang berbeda, unik, dan menjalani dunia yang lebih “seru.”
Kampanye yang sangat cerdas ini berhasil membentuk persepsi masyarakat tentang betapa eksklusifnya semua produk Apple, termasuk iPhone. Akibatnya, meskipun banyak produk lain yang menawarkan fitur serupa dengan harga yang jauh lebih murah, iPhone tetap menjadi simbol eksklusivitas di benak masyarakat. Oleh karena itu, kasta tertinggi dalam standar sosial terkait ponsel jatuh pada iPhone, bukan Samsung, apalagi Xiaomi.
Baca Juga:10 Aplikasi Terbaik untuk Kamu Instal di iPhone, Pilihan Menarik Tahun 20257 Rekomendasi Ponsel RAM 12 GB Tergahar 2025
Namun, yang menjadi masalah adalah antusiasme terhadap iPhone ini tidak hanya dimiliki oleh kalangan yang benar-benar mampu secara finansial. Banyak masyarakat kelas menengah ke bawah rela melakukan apa pun demi mendapatkan validasi sosial sebagai bagian dari kelompok eksklusif melalui kepemilikan iPhone.
Mereka bahkan membeli iPhone dengan berbagai cara, termasuk melalui skema kredit atau cicilan yang kini semakin mudah diakses. Bahkan, hanya dengan modal KTP, seseorang sudah bisa mendapatkan iPhone.
Sayangnya, fenomena ini menyebabkan banyak masyarakat kelas menengah ke bawah, yang mungkin hanya memiliki pendapatan sebesar 2 hingga 5 juta rupiah per bulan, nekat mencicil iPhone demi mengikuti gengsi. Akibatnya, mereka kerap hidup dalam kesulitan finansial, hingga terpaksa berutang ke sana-sini.
Situasi ini diperburuk oleh keputusan impulsif mereka untuk mengambil kredit atau pinjaman tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang, seperti kebutuhan pokok yang terpaksa dikorbankan, utang yang belum lunas, tidak adanya dana darurat untuk menghadapi kebutuhan mendesak, dan berbagai dampak lainnya.
Semua konsekuensi tersebut sering kali terabaikan karena hasrat yang besar untuk memanjakan ego demi memenuhi standar sosial. Pada akhirnya, fenomena ini membuat banyak masyarakat kelas menengah ke bawah terjebak dalam masalah finansial yang berat hanya karena membeli barang-barang konsumtif yang sebenarnya tidak terlalu penting.