SUKABUMI EKSPRES – Sekitar satu bulan yang lalu, seorang artis bernama Prilly Latuconsina mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial. Ia mengatakan bahwa saat ini banyak perempuan independen, tetapi hanya sedikit laki-laki yang mapan.
Namun demikian, tidak ada masalah serius yang timbul dari pernyataan itu. Tidak ada unsur pidana maupun penghinaan di dalamnya. Pernyataan tersebut hanya terasa unik dan sedikit mengundang senyum, karena muncul secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas. Bagi sebagian orang, pernyataan ini mungkin terkesan jumawa dan seolah mengglorifikasi salah satu gender.
Belakangan ini, istilah feminisme sering diasosiasikan dengan “SJW” (Social Justice Warrior), “si paling terbuka”, dan istilah lain yang bernuansa negatif. Namun, jika kita menilik cita-cita awal feminisme, sejatinya gerakan ini bertujuan untuk memperjuangkan mimpi perempuan agar dianggap sebagai manusia yang utuh.
Baca Juga:Mengulas Fenomena Koin Jagat Sebagai Gambaran Keadaan Ekonomi Masyarakat IndonesiaPendaftaran Beasiswa LPDP 2025 Resmi Dibuka! Ini Persyaratannya
Derajat Wanita di Masa Peradaban Kuno
Mari kembali sekitar 2.300 tahun yang lalu. Aristoteles pernah menyatakan bahwa perempuan sejatinya adalah laki-laki yang tidak sempurna. Jika kita melihat pernyataan ini dalam konteks Yunani kuno, kita dapat memahami alasannya.
Pada masa itu, pemikiran dan keputusan didominasi oleh laki-laki, baik dalam bidang filsafat, politik, maupun kehidupan sosial. Senat pun sepenuhnya diisi oleh laki-laki, yang secara biologis juga dianggap lebih kuat dibanding perempuan. Model patriarki “one-sex” seperti ini berlangsung dalam waktu yang sangat panjang.
Hal ini terjadi karena posisi perempuan sebagai “the second sex” tidak dianggap sebagai sebuah masalah. Fenomena ini, oleh Betty Friedan, disebut sebagai “the problem that has no name”—masalah yang bahkan tidak disadari keberadaannya.
Jangankan mencari solusi, masyarakat pada masa itu bahkan tidak menganggapnya sebagai suatu persoalan. Pandangan umum saat itu adalah bahwa kodrat perempuan hanya terbatas pada peran domestik, seperti mengurus sumur, kasur, dan dapur.
Bukan hanya di Yunani kuno, pandangan terhadap perempuan di Mesopotamia, Mesir kuno, dan India kuno juga cenderung serupa. Perempuan dianggap hanya berkutat pada urusan rumah tangga dan reproduksi. Bahkan, posisi perempuan disamakan dengan budak, di mana keduanya dianggap sebagai bagian dari konsep kepemilikan, seperti barang yang dapat ditebus atau diwariskan.