Feminisme Saat Ini Dianggap Toksik? Inilah Sejarah Kebangkitan Emansipasi Wanita di Seluruh Dunia

Feminisme Saat Ini Dianggap Toksik
Ilustrasi: Unsplash
0 Komentar

Selain itu, ketidakpuasan terhadap gagasan-gagasan biner yang diusung oleh gelombang feminisme kedua—yang dianggap tidak sepenuhnya mewakili ide-ide terkait heteroseksualitas maupun LGBTQ+—melahirkan gelombang feminisme ketiga. Sebagai catatan, pembahasan ini bukan untuk menunjukkan persetujuan atau penolakan, melainkan sebagai bahan referensi untuk kita semua.

Gelombang feminisme ketiga mencoba melanjutkan perjuangan gerakan sebelumnya dengan pendekatan yang lebih inklusif, melibatkan keberagaman etnis, ras, kelas sosial, dan komunitas LGBTQ+. Namun, gelombang ini menuai banyak kritik, bahkan dari para feminis generasi sebelumnya (gelombang kedua).

Kritik tersebut muncul karena gerakan ini dianggap tidak menambahkan sesuatu yang substansial. Meskipun memperluas inklusivitas, gerakan ini dinilai telah bergeser dari cita-cita sederhana feminisme awal, yaitu mencari keadilan dan kesetaraan bagi perempuan.

Baca Juga:Mengulas Fenomena Koin Jagat Sebagai Gambaran Keadaan Ekonomi Masyarakat IndonesiaPendaftaran Beasiswa LPDP 2025 Resmi Dibuka! Ini Persyaratannya

Jika kita beralih ke konteks Indonesia, kita memiliki tokoh-tokoh emansipasi perempuan seperti Raden Ajeng Kartini dan Cut Nyak Dien. Dulu, di suatu daerah di Indonesia memiliki tradisi menikahkan anak perempuan secara paksa, dan hingga hari ini, praktik serupa masih ditemukan di beberapa daerah.

Terkadang, kita bersembunyi di balik kata “tradisi” untuk membenarkan tindakan yang seharusnya tidak lagi relevan. Justifikasi psikologis terhadap tradisi menjadi rumit, karena melibatkan lebih dari sekadar individu atau keluarga—tetapi juga menyangkut satu generasi di wilayah tertentu.

Biasanya, tradisi patriarki seperti ini dilanggengkan karena ketergantungan ekonomi. Ada kasus di mana anak perempuan yang masih belia dinikahkan dengan pria dewasa atau bahkan lansia. Anak-anak ini sering kali tidak berani melawan karena takut menghadapi penolakan sosial.

Trauma lintas generasi juga turut memperparah situasi, karena pernikahan dini dianggap sebagai kewajiban moral. Dalam banyak kasus, orang tua kandung sendirilah yang menikahkan anak-anak mereka, menambahkan tekanan emosional yang besar.

Secara pribadi, kami bukan seorang yang konservatif dalam memandang tradisi. Jika suatu tradisi sudah tidak relevan secara fungsi, menurut kami tidak ada masalah untuk menjadikannya sebatas catatan sejarah budaya. Apalagi jika tradisi tersebut mengorbankan darah, harkat, dan martabat manusia. Hal-hal seperti ini seharusnya tidak diteruskan. Saya yakin sebagian besar dari Anda pun setuju, meskipun mungkin tidak mengatakannya secara verbal.

0 Komentar