Banyak Perusahaan Lokal Rusak Gara-Gara Budaya ‘Orang Dalam’ di Indonesia, Pahami Fenomenanya

Budaya Orang Dalam di Indonesia
Budaya Orang Dalam di Indonesia
0 Komentar

Contoh konkret dapat dilihat dari hasil survei Kompas yang menunjukkan bahwa 59% pelamar kerja pernah “digantung” dalam proses rekrutmen. Masalah seperti ini membuat kepercayaan publik terhadap perusahaan menurun.

Jika masyarakat mulai merasa bahwa lowongan kerja hanya pura-pura, mereka akan kehilangan minat untuk mengikuti proses rekrutmen. Hal ini tentu merugikan perusahaan karena mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kandidat terbaik.

Selain itu, fenomena ini menciptakan ketidakadilan sistemik. Kandidat yang tidak memiliki koneksi akan selalu kalah, tidak peduli seberapa baik kualifikasi mereka. Situasi ini menunjukkan perlunya reformasi besar dalam sistem rekrutmen untuk menciptakan proses yang lebih adil, transparan, dan mendukung meritokrasi.

Baca Juga:Rangkaian Acara Bandung Gaming Day 2025 di Summarecon Mall Bandung dan Agate Studio Seru Banget7 HP Kamera Terbaik Fitur OIS Pada 2025 untuk Konten Kreator

Garis Batasan Nepotisme dan Networking

Nepotisme sering kali disamarkan sebagai networking di Indonesia. Orang-orang yang memanfaatkan koneksi pribadi sering kali beralasan bahwa mereka sedang memanfaatkan relasi atau jaringan mereka. Namun, kenyataannya, ada garis batas yang jelas antara networking yang sehat dan nepotisme.

Networking adalah tentang membangun hubungan profesional dengan orang-orang yang memiliki visi atau tujuan yang serupa. Contohnya, Anda datang ke seminar, bergabung dalam komunitas, atau bahkan aktif di LinkedIn untuk belajar dan berbagi informasi. Networking tidak menjamin Anda mendapatkan posisi tertentu, tetapi memberikan peluang untuk menunjukkan kemampuan Anda.

Sebaliknya, nepotisme adalah situasi di mana seseorang diberikan posisi bukan karena kompetensinya, melainkan karena kedekatan personal. Misalnya, jika Anda mendapatkan pekerjaan karena Anda anak atau keponakan direktur, bukan karena Anda memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk posisi tersebut.

Masalahnya, di Indonesia, garis batas antara networking dan nepotisme sering kali kabur. Banyak orang beranggapan bahwa jika Anda tidak memanfaatkan koneksi, Anda tidak akan bisa sukses. Stigma ini membuat nepotisme dianggap normal, bahkan sebagai bagian dari strategi karir. Padahal, jika kita terus membiarkan praktik ini, dampaknya tidak hanya merugikan individu, tetapi juga ekosistem kerja secara keseluruhan.

Networking yang sehat seharusnya memotivasi orang untuk meningkatkan keterampilan mereka, sedangkan nepotisme justru membuat orang merasa tidak perlu belajar karena selalu ada jalur belakang yang bisa diambil.

0 Komentar