SUKABUMI EKSPRES – Banyak orang berpikir bahwa trauma masa lalu, ditinggalkan oleh orang tua, disakiti oleh pasangan, mengalami perceraian, dan lain sebagainya, adalah semacam “privilege” yang membuat orang lain harus memaklumi perilaku buruk mereka.
Kamu mungkin pernah mendengar seseorang berkata, “Dia kalau marah itu tantrum, maklumi saja. Namanya juga anak broken home, dari kecil sudah biasa dibentak-bentak oleh ayahnya. Jadi, saat besar, dia jadi emosian seperti itu. Maklumi saja, memang dia begitu orangnya—suka marah tidak jelas. Kita sebagai teman ya maklumi saja kondisinya. Dia memang begitu, emosian. Maklum, dari kecil dia tidak merasakan kasih sayang dari ayah dan ibunya.”
Atau jangan-jangan, kamu justru mengatakan hal seperti itu kepada diri sendiri? Jangan-jangan, kamu meminta orang lain untuk memaklumi saat kamu marah-marah tanpa alasan jelas, lalu menyalahkan luka dan sakit hati yang kamu alami di masa lalu?
Baca Juga:4 Alasan Honda CB150X Kurang Laku di Indonesia, Salah Satunya Hanya 'Modal Tampang'10 Hal Baru yang Menarik dari Samsung Galaxy S25 Ultra Dibanding Samsung Galaxy S24
Mereka berkata, “Saya emosian karena dari kecil tidak mendapatkan kasih sayang ibu. Hidup saya tidak mudah. Sejak lahir, saya sudah ditinggalkan oleh ayah. Jadi, tolong maklumi kalau saya marah-marah tanpa alasan yang jelas.”
Namun, mari kita berhenti menormalisasi hal seperti itu. Pola pikir ini tidak sehat—baik untuk diri sendiri yang terus-menerus marah dan mengalami perubahan suasana hati, maupun bagi orang-orang di sekitar. Dalam jangka panjang, dampaknya bisa sangat serius. Orang-orang akan mulai menjauh, tidak peduli seberapa dekat hubungan mereka denganmu.
5 Alasan untuk Jangan Merasa Paling Tersakiti
Inilah alasan mengapa kita tidak boleh terus Bad Mood dan merasa menjadi ‘Si Paling Tersakiti’.
1. Tidak semua orang perlu tahu tentang apa masalah yang sedang kamu hadapi.
Mungkin kamu sedang merasa sangat lelah setelah menghadapi tekanan di kantor—misalnya, karena target tidak tercapai atau dimarahi atasan. Namun, menunjukkan sikap jutek atau merengut kepada orang lain tanpa alasan yang jelas hanya akan membuat orang-orang di sekitarmu bingung.
Tidak ada yang bisa membaca pikiranmu. Tidak semua orang memahami kode atau alasan di balik emosimu jika kamu tidak menceritakannya. Jika kamu tidak berbicara secara terbuka, mereka akan merasa seperti selalu disalahkan.