SUKABUMI EKSPRES – Bayangkan sebuah perangkat yang mengubah cara dunia bekerja ketika pertama kali diperkenalkan. iPhone dianggap revolusioner, simbol inovasi dan keunggulan teknologi. Dalam waktu singkat, ia menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi. iPhone adalah wujud status sosial, simbol gaya hidup, bahkan lambang kesuksesan.
Namun, di balik semua itu, ada sisi gelap yang jarang dibahas, yaitu strategi bisnis cerdik namun manipulatif, dirancang untuk mengunci pengguna, membentuk tren sosial yang hampir menyerupai kultus, dan menjadikan produk mereka lebih tentang gengsi daripada fungsi.
Bukan hanya itu, terdapat ekosistem aplikasi yang dimonopoli, tenaga kerja yang dieksploitasi, serta negara-negara yang sumber daya alamnya dikeruk demi keuntungan. Inilah Apple, perusahaan dengan model bisnis yang disebut-sebut sebagai salah satu yang paling kontroversial di dunia.
Baca Juga:Rangkaian Acara Bandung Gaming Day 2025 di Summarecon Mall Bandung dan Agate Studio Seru Banget7 HP Kamera Terbaik Fitur OIS Pada 2025 untuk Konten Kreator
Strategi Bisnis Apple
Tahun 2007 menjadi momen bersejarah ketika Apple memperkenalkan iPhone—perangkat yang menghapus tombol fisik dan menggantikannya dengan layar sentuh multitouch yang responsif.
Walau Apple bukan pelopor teknologi layar sentuh, mereka menyempurnakan inovasi tersebut, sehingga layar dapat dioperasikan langsung dengan jari secara intuitif. Ini bukan sekadar inovasi; ini adalah langkah besar menuju masa depan digital.
Namun, kesuksesan Apple tidak lepas dari persaingan ketat. Beberapa bulan setelah iPhone diluncurkan, Google memperkenalkan Android, sistem operasi yang dirancang untuk bersaing langsung dengan iPhone. Android menawarkan fleksibilitas yang tidak dimiliki oleh Apple.
Pengguna Android dapat dengan mudah mentransfer file lagu atau video menggunakan kabel USB atau Bluetooth, sementara Apple membangun ekosistem tertutup. Pengguna iPhone harus melalui proses rumit menggunakan iTunes untuk melakukan hal-hal sederhana seperti memindahkan foto.
Awalnya, iPhone dikenal sebagai alat kerja yang canggih dan fungsional. Namun, citra itu dengan cepat berubah menjadi simbol status sosial. Di era media sosial, tren selfie cermin dengan iPhone yang memamerkan logo Apple di bagian belakang mulai bermunculan. Apakah ini fenomena organik atau bagian dari strategi pemasaran Apple? Sulit untuk dipastikan, tetapi dampaknya sangat nyata.
iPhone mulai dilihat sebagai lebih dari sekadar perangkat teknologi. Ia menjadi simbol prestise, status, dan gaya hidup modern. Apple semakin memperkuat citra ini dengan desain produk yang mencolok namun sederhana, seperti MacBook dengan logo Apple yang menyala. Produk-produk ini dirancang tidak hanya untuk fungsionalitas, tetapi juga untuk menunjukkan kehadiran—sesuatu yang harus dilihat oleh orang lain.