Tren ini dimulai di Amerika Serikat, tetapi dengan cepat menyebar ke seluruh dunia melalui media sosial, menjadikan iPhone dan produk Apple lainnya simbol kemewahan yang diidamkan banyak orang.
Puncak obsesi terhadap produk Apple terlihat dari fenomena antrean panjang setiap kali model terbaru iPhone dirilis di berbagai negara. Orang rela berdiri selama berjam-jam, bahkan menginap di depan toko Apple, hanya untuk menjadi yang pertama mendapatkan perangkat tersebut.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah ini murni antusiasme dari pengguna fanatik, ataukah bagian dari strategi pemasaran yang disengaja? Tidak sedikit spekulasi yang menyebutkan bahwa sebagian dari orang-orang yang mengantre adalah pemeran bayaran yang sengaja disewa untuk menciptakan ilusi eksklusivitas dan permintaan tinggi.
Baca Juga:Rangkaian Acara Bandung Gaming Day 2025 di Summarecon Mall Bandung dan Agate Studio Seru Banget7 HP Kamera Terbaik Fitur OIS Pada 2025 untuk Konten Kreator
Jika benar, strategi semacam ini sangat efektif dalam membangun narasi bahwa iPhone adalah produk yang “harus dimiliki” dengan segala cara.
Namun, di sisi lain, tak bisa diabaikan bahwa ada juga pengguna fanboy yang benar-benar rela melakukan tindakan serupa hanya karena terobsesi menjadi bagian dari komunitas eksklusif pengguna iPhone. Sayangnya, obsesi ini sering kali terlihat tidak masuk akal.
Banyak orang rela membuang waktu, uang, bahkan martabat hanya demi mendapatkan perangkat lebih dulu. Fenomena ini menunjukkan betapa kuatnya daya tarik gengsi yang dibangun oleh Apple, bahkan ketika tidak ada urgensi nyata untuk mendapatkan perangkat tersebut pada hari pertama rilis.
Dengan fenomena seperti ini, Apple tidak hanya menjual perangkat, tetapi juga menciptakan pengalaman psikologis yang membuat konsumen merasa istimewa jika menjadi bagian dari yang pertama. Ini adalah strategi pemasaran yang brilian, tetapi juga manipulatif, karena memanfaatkan kebutuhan sosial manusia untuk merasa superior dan diterima.
Pada akhirnya, baik itu strategi terselubung dari Apple maupun tindakan impulsif pengguna fanboy, antrean panjang ini adalah bukti nyata bagaimana Apple berhasil menjual lebih dari sekadar teknologi. Mereka menjual ilusi kemewahan dan eksklusivitas.
Apple, yang dulu dikenal karena inovasi, kini telah menyempurnakan strategi bisnisnya untuk mengunci pengguna dalam ekosistemnya. Dengan setiap produk yang mereka rilis, mereka tidak hanya menjual perangkat, tetapi juga menciptakan ketergantungan.