Lebih buruk lagi, Apple sering kali memanfaatkan celah regulasi untuk mendominasi pasar tanpa memberikan kontribusi langsung pada perekonomian lokal. Salah satu contohnya adalah penerapan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) oleh pemerintah Indonesia.
Untuk dapat menjual iPhone di Indonesia, Apple diharuskan memenuhi persentase tertentu dari komponen atau proses produksi di dalam negeri. Namun, alih-alih mendirikan fasilitas produksi atau berinvestasi di sektor high-tech, Apple memilih jalan pintas dengan menggandeng mitra untuk membangun fasilitas aksesoris bernilai kecil hanya untuk memenuhi persyaratan minimal. Langkah ini menunjukkan kurangnya komitmen Apple terhadap pengembangan teknologi dan tenaga kerja lokal.
Di sisi lain, harga produk Apple di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara lain, karena tingginya pajak impor dan kebijakan distribusi yang eksklusif. Hal ini tidak hanya memberatkan konsumen, tetapi juga menciptakan kesenjangan sosial, di mana kepemilikan produk Apple menjadi simbol status ekonomi.
Baca Juga:Rangkaian Acara Bandung Gaming Day 2025 di Summarecon Mall Bandung dan Agate Studio Seru Banget7 HP Kamera Terbaik Fitur OIS Pada 2025 untuk Konten Kreator
Tindakan Apple terhadap Indonesia ini mengingatkan kita pada era kolonial, di mana kekayaan Indonesia dieksploitasi untuk keuntungan pihak luar tanpa ada pengembalian yang berarti bagi rakyatnya. Apple, dengan segala kemewahan produknya, beroperasi seperti kekuatan ekonomi yang hanya peduli pada satu hal: laba maksimal.
Dalam dunia teknologi, Apple tidak lagi menjadi pelopor. Namun, dalam dunia pemasaran, mereka adalah juara. Dengan memanfaatkan citra, Apple menciptakan bisnis yang sangat menguntungkan. Mereka menjual gengsi, bukan teknologi. Dan konsumen terus terjebak dalam lingkaran ini.