Terlepas dari apakah hal tersebut hanya sebatas candaan atau tidak, jika tindakan ini terus berlanjut, maka stigma dan stereotip yang ada akan semakin kuat. Dampaknya, diskriminasi pun semakin meluas. Jika dalam jangka panjang rasisme terhadap suku, etnis, agama, atau kelompok lainnya terus dinormalisasi, maka hal ini dapat menciptakan ketegangan sosial yang berujung pada perpecahan.
Harapan kami, kondisi ini tidak berlangsung lama. Namun, pertanyaan yang perlu kita renungkan saat ini adalah: mengapa suku Jawa yang paling sering menjadi sasaran rasisme?
2. Penggunaan Sosial Media
Jika kita membicarakan alasan mengapa Jawa sering menjadi sasaran rasisme, sebenarnya ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Namun, salah satu faktor utama yang menyebabkan Jawa sering terpapar rasisme adalah maraknya penggunaan media sosial.
Baca Juga:6 Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Mengambil KPR Agar Tidak MenyesalLuar Biasa, DeepSeek Diklaim Lebih Canggih Daripada ChatGPT Milik Open AI
Berdasarkan data, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai sekitar 139 juta orang, yang setara dengan 50% dari total penduduk Indonesia. Mayoritas dari mereka aktif menggunakan media sosial setiap hari, dan banyak di antara mereka yang memposting berbagai jenis konten, mulai dari video, foto, hingga berita yang bisa diakses dengan sangat mudah oleh siapa saja.
Namun, bagaimana penggunaan media sosial dapat mempengaruhi maraknya rasisme dan normalisasi rasisme di Indonesia? Jawabannya tentu saja berkaitan dengan fenomena yang telah saya sebutkan sebelumnya.
Postingan-postingan yang berkaitan dengan kasus kerusuhan atau kejadian buruk sering kali mencantumkan nama suatu daerah, bahkan terkadang menyebutkan pelaku atau korban secara eksplisit. Masyarakat Indonesia, yang cenderung tertarik pada hal-hal seperti ini, sering kali mengkonsumsi dan membagikan konten semacam ini.
Misalnya, dalam sebuah berita yang melaporkan bentrokan antara sekelompok anggota pesilat dengan masyarakat di Jawa Timur, nama “Jawa Timur” akan muncul di dalam keterangannya. Padahal, tentu saja tidak semua orang di Jawa Timur memiliki perilaku yang sama, namun begitu, nama daerah tersebut sudah terbentuk sebagai “brand” yang melekat.
Hal ini menjadi lebih buruk jika berita-berita serupa yang menyebutkan nama daerah Jawa sebagai latar belakang kasus terus berlanjut. Media sosial pun menjadi saluran yang memperparah hal ini, menjadikannya lebih tersebar dan dikonsumsi oleh lebih banyak orang.