5 Standar Tiktok yang Bisa Buat Hidup Makin Miskin

Standar Tiktok Buat Miskin
Standar Tiktok Bisa Buat Miskin
0 Komentar

4. Menonton Kemiskinan Sebagai Komoditas

Hal yang paling ironis adalah bagaimana kemiskinan sering dijadikan komoditas di TikTok. Banyak konten kreator membuat video yang memperlihatkan mereka memberi bantuan, seperti sembako kepada orang yang kurang mampu, dan merekamnya dari awal hingga akhir. Walaupun niatnya terlihat baik, tindakan ini sering kali mengandung eksploitasi terselubung demi mendapatkan perhatian (engagement).

Fenomena ini terjadi karena algoritma TikTok mendukung konten yang menyentuh emosi. Video yang mengundang rasa haru atau membuat penonton menangis cenderung mendapatkan lebih banyak like, komentar, dan share. Sayangnya, hal ini justru mendorong orang untuk membuat konten yang memanfaatkan kemiskinan demi kepentingan pribadi.

Dampaknya ada dua sisi. Pertama, masyarakat mulai melihat kemiskinan sebagai hiburan atau konten viral, bukan sebagai masalah serius yang memerlukan solusi nyata. Kedua, orang miskin yang dijadikan objek konten sering kali tidak mendapatkan manfaat berkelanjutan. Memberikan sembako memang membantu sesaat, tetapi bagaimana dengan kebutuhan mereka untuk hari-hari berikutnya?

Baca Juga:Indonesia jadi Negara Paling Religius di Dunia Tapi 'Nakal'Film Horor Aplikasi Iblis Garapan Dimas Anggara Siap Tayang di Bioskop

Di Indonesia, hal ini semakin parah karena stigma kemiskinan sudah sangat kuat. Orang miskin sering dianggap lemah atau malas, padahal ada banyak faktor struktural seperti akses pendidikan, lapangan kerja, dan kebijakan ekonomi yang turut memengaruhi kondisi tersebut.

Dengan menjadikan kemiskinan sebagai konten, kita bukan hanya memperkuat stigma, tetapi juga melupakan akar masalahnya. Perubahan nyata seharusnya dimulai dari kebijakan yang lebih adil, bukan sekadar eksploitasi demi konten viral.

5. Membuat Konten Tanpa Memikirkan Kualitas

Banyak orang mulai berpikir bahwa semakin sering mereka membuat konten, semakin besar kemungkinan konten tersebut menjadi viral. Pemikiran ini sering kali menjadi alasan mengapa orang lebih memilih mengejar viralitas dibandingkan membuat konten yang memiliki dampak positif atau edukasi.

Dalam jangka panjang, fenomena ini berpotensi merusak kualitas produksi konten lokal yang seharusnya dapat memberikan kedalaman, kritik sosial, atau dampak positif bagi masyarakat. Tidak jarang, demi mengejar views dan likes, kualitas konten dikorbankan. Contohnya adalah konten challenge yang justru menyebarkan tren konsumerisme, seperti giveaway barang-barang mewah yang diikuti oleh ribuan orang.

0 Komentar