Contoh lain adalah bisnis waralaba (franchise). Jika ada jaringan restoran cepat saji besar dari luar negeri, seperti McDonald’s atau merek populer dari Korea Selatan, yang ingin masuk ke pasar Indonesia, mereka tidak akan memberikan hak waralaba utama (master franchise) kepada individu yang baru merintis bisnis. Sebaliknya, mereka akan memilih grup konglomerat dengan portofolio bisnis yang kuat dan rekam jejak yang meyakinkan.
Hal yang sama terjadi dalam industri properti, seperti pembangunan gedung perkantoran di kawasan bisnis utama, misalnya SCBD. Jika tingkat okupansi gedung di suatu area sudah mencapai 90%, peluang pembangunan gedung baru tentu sangat menarik. Namun, siapa yang memiliki kapasitas untuk mengambil proyek ini? Jawabannya tetap sama: kelompok konglomerat.
Dengan demikian, faktor ketiga ini sangat signifikan. Selain mampu menjaga kekayaan mereka, para konglomerat juga memiliki peluang lebih besar untuk terus mengakumulasi kekayaan melalui proyek-proyek bernilai besar yang tidak dapat diakses oleh pelaku bisnis kecil dan menengah.
Baca Juga:Proyek IKN Resmi Mangkrak! Ini 6 Alasan Awal Pemerintah Ingin Bangun Ibu Kota BaruCara Buat Link Dana Kaget Resmi Langsung dari Aplikasi Tanpa Ribet
4. Momentum Investasi
Faktor keempat adalah dari sisi momentum investasi. Para konglomerat umumnya memiliki kas yang melimpah, sehingga mereka memiliki portofolio yang terdiversifikasi dengan baik. Sebagai contoh, jika mereka memiliki dana sebesar Rp1 triliun, hanya sekitar 20% hingga 30% yang ditempatkan pada instrumen berisiko tinggi, sementara sisanya, sekitar 70%, ditempatkan pada instrumen yang lebih aman seperti deposito dan obligasi negara.
Pada saat kondisi ekonomi sedang sulit, seperti yang terjadi selama pandemi COVID-19, banyak aset, seperti properti dan saham, yang harganya jatuh. Inilah saat yang tepat bagi konglomerat untuk membeli aset-aset tersebut dengan harga yang jauh lebih murah.
Sebagai contoh, ada sebuah perusahaan besar yang membeli billboard outdoor di salah satu kawasan elit di Jakarta setelah harga properti jatuh akibat pandemi. Kesempatan untuk melakukan hal semacam ini umumnya hanya tersedia bagi mereka yang sudah berada di level konglomerat.
Misalnya, ketika harga ruko atau saham jatuh, mereka memiliki kesempatan untuk membeli aset-aset tersebut dengan harga yang sangat murah. Jika orang di level menengah membeli dengan dana sekitar Rp5 miliar, konglomerat bisa membeli dengan dana yang jauh lebih besar, misalnya Rp200 miliar hingga Rp300 miliar.