Namun, pukulan paling menyakitkan datang ketika ia mengabdi pada Republik Florence—hanya untuk melihatnya digulingkan oleh keluarga Medici pada tahun 1512.
Di sinilah segalanya berubah. Machiavelli, sang idealis, dipecat, disiksa, dan dibuang ke pedesaan. Namun, di pengasingannya, ia menulis surat kepada seorang teman:
“Di siang hari aku berburu dan bermain dengan para petani, tetapi di malam hari aku masuk ke ruang kuliah para raja.”
Baca Juga:Peringati Hari Kanker Sedunia, RSUD Al Ihsan Baleendah Beri Imbauan Masyarakat tentang KankerProyek IKN Resmi Mangkrak! Ini 6 Alasan Awal Pemerintah Ingin Bangun Ibu Kota Baru
Ruang kuliah itu adalah Il Principe—sebuah buku yang lahir bukan dari teori, melainkan dari luka dan pengkhianatan. Namun, Machiavelli tidak menulisnya untuk memberontak. Sebaliknya, Il Principe adalah proposal politik—sebuah upaya putus asa untuk menarik perhatian keluarga Medici agar mempekerjakannya kembali.
Di halaman pertama Il Principe, Machiavelli menulis:
“Aku tak punya hadiah untukmu selain pengetahuanku tentang tindakan para penguasa besar.”
Ironisnya, keluarga Medici mengabaikannya—tetapi Gereja Katolik tidak. Mereka segera mencium bahaya dalam buku ini. Il Principe mengajarkan bahwa kekuasaan tidak selalu suci, hanya perlu efektif. Seperti api yang menyambar jerami, Gereja segera berusaha memadamkannya. Namun, justru dalam kegelapan larangan itulah legenda Machiavelli mulai hidup—sebagai hantu yang menghantui para penguasa yang takut akan kebenaran.
Tapi apa sebenarnya yang ditulis Machiavelli hingga membuat Gereja begitu gemetar? Untuk menjawabnya, kita harus melihat dua sosok yang membayangi setiap halaman Il Principe: Cesare Borgia, pangeran kejam yang menjadi inspirasinya, dan keluarga Medici, penguasa yang ia puja sekaligus benci.
Machiavelli pertama kali bertemu Cesare Borgia pada tahun 1502 sebagai diplomat Florence. Saat itu, Borgia—putra Paus Alexander VI—sedang membantai musuh-musuhnya di Romagna. Namun, alih-alih jijik, Machiavelli justru terpesona. Dalam suratnya, ia menulis:
“Borgia seperti singa yang tahu kapan harus menjadi ular. Ia menghancurkan lawan-lawannya, tetapi rakyatnya menyembahnya.”
Inilah benih pemikiran Il Principe: kekuasaan membutuhkan kebengisan yang cerdas. Dari Borgia, Machiavelli mempelajari prinsip paling kontroversialnya—tujuan menghalalkan cara.
Baca Juga:Cara Buat Link Dana Kaget Resmi Langsung dari Aplikasi Tanpa Ribet5 Modus Penipuan Saldo Dana Gratis di Internet Buat Masyarakat Lebih Hati-Hati
Salah satu contoh terbaik terjadi ketika Borgia ingin menguasai kota kecil Urbino. Pemimpinnya, Guidobaldo da Montefeltro, diundang ke jamuan makan malam. Di tengah perjamuan, Borgia membantai Montefeltro dan anak buahnya. Keesokan harinya, ia dengan bangga berkata: