Machiavelli mungkin telah mati pada tahun 1527, tetapi rohnya hidup di setiap sudut kekuasaan modern—dari koridor parlemen hingga ruang rapat CEO, dari algoritma media sosial hingga perang proxy. Semuanya berbisik: tujuan menghalalkan cara.
Tapi bagaimana tepatnya ajaran seorang penulis abad ke-16 bisa bertahan di dunia yang jauh lebih kompleks?
Mari kita lihat politik modern. Pada tahun 1973, Henry Kissinger—diplomat licik Amerika Serikat—menyebut Machiavelli sebagai “guru pertama politik.” Ia merancang kudeta di Chili untuk menjatuhkan Salvador Allende, atau membiarkan Vietnam Utara menyerang Kamboja. Prinsipnya jelas: stabilitas lebih penting daripada moral.
Baca Juga:Peringati Hari Kanker Sedunia, RSUD Al Ihsan Baleendah Beri Imbauan Masyarakat tentang KankerProyek IKN Resmi Mangkrak! Ini 6 Alasan Awal Pemerintah Ingin Bangun Ibu Kota Baru
Dan ini bukan sekadar teori. Laporan CIA tahun 2021 tentang perang siber menyebut bahwa serangan harus “seperti rubah—tak terlihat sampai terlambat.” Sebuah bahasa yang sangat Machiavellian.
Tapi jangan kira Machiavelli hanya milik para politikus. Di Silicon Valley, para CEO menjadikan Il Principe sebagai kitab suci.
Steve Jobs pernah berkata, “Terkadang, untuk inovasi, kau harus menjadi bajingan.” Sementara itu, dalam email internalnya pada 2012, Mark Zuckerberg menulis, “Lebih baik meminta maaf nanti daripada meminta izin sekarang.” Persis seperti nasihat Machiavelli: penguasa harus menjadi penjahat sementara demi kebaikan jangka panjang.
Lalu ada media sosial—senjata Machiavellianisme paling mutakhir. Politikus modern tak perlu membunuh musuh secara fisik, cukup membunuh karakter mereka lewat trending topic.
Di Brasil, Jair Bolsonaro menggunakan bot WhatsApp untuk menyebarkan fitnah tentang lawannya. Di Filipina, Rodrigo Duterte membayar troll army untuk membanjiri kolom komentar dengan ancaman. Ini semua adalah kejahatan terukur ala Machiavelli, direkayasa untuk mempertahankan kekuasaan dengan biaya minimal.
Tapi di balik semua kegelapan ini, ada pertanyaan penting: apakah Machiavelli akan bangga melihat dirinya sekarang? Jawabannya mungkin mengejutkan.
Dalam salah satu suratnya, ia menulis, “Aku tidak membela kejahatan. Aku hanya menggambarkan dunia sebagaimana adanya.” Jika ia hidup hari ini, mungkin ia akan tertawa getir. “Kalian menyembahku sebagai iblis, tapi kalian semua adalah muridku yang paling rajin.”