3 Penyebab Utama Munculnya Generasi Sandwich, Berawal dari Permintaan Berbakti Menjadi Kebablasan

Penyebab Generasi Sandwich
Penyebab Munculnya Generasi Sandwich
0 Komentar

SUKABUMI EKSPRES – Belakangan ini, keresahan dan kegelisahan yang dirasakan oleh generasi sandwich semakin terwakili dengan jelas dalam film Satu Kakak Tujuh Ponakan. Film ini menggambarkan perjuangan mereka saat merintis karier dengan berbagai keterbatasan, menghadapi tekanan di luar kemampuan, serta harus mengorbankan banyak hal.

Air mata yang menetes di setiap malam menjadi bukti betapa beratnya beban yang harus mereka tanggung—stres menghadapi tuntutan yang seakan tidak pernah cukup, berusaha terlihat kuat agar orang lain tidak khawatir, padahal diri sendiri tengah rapuh. Bahkan, sekadar memikirkan diri sendiri pun sering kali menimbulkan rasa bersalah.

Di Indonesia, sebanyak 43% orang yang berada di usia produktif mengalami kondisi sebagai generasi sandwich—hampir setengahnya. Itulah mengapa film ini menjadi perbincangan di mana-mana, karena banyak yang merasa kisah mereka terwakili.

Baca Juga:Bocoran Spesifikasi iPhone 17 Sudah Beredar! Simak 10 Hal yang Perlu Kamu Ketahui5 Langkah Aman Mengatasi Akun Dana Diretas Tanpa Perlu Panik Kena Hack

Sebenarnya, kondisi generasi sandwich tidak akan menjadi masalah yang rumit jika penghasilan cukup untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Namun, akan menjadi tekanan yang luar biasa bagi mereka yang masih berada di tahap awal merintis karier dengan gaji yang terbatas.

Banyak dari kita berada dalam situasi ini—harus membantu orang tua, sekaligus menanggung biaya pendidikan adik di rumah. Tekanan tersebut sering kali berujung pada depresi berat yang merusak berbagai aspek kehidupan, mulai dari ketidakharmonisan dalam keluarga, penurunan performa kerja akibat mental yang tidak stabil, hingga hubungan pertemanan dan percintaan yang rusak karena masalah finansial.

Tidak jarang, orang-orang yang berada dalam kondisi ini harus menghadapi kenyataan pahit—baru hari pertama gajian, uang sudah habis karena harus memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan pribadi pun mereka terpaksa berutang ke sana-sini, meskipun telah bekerja keras mencari nafkah dengan keringat sendiri.

Ketika kami menemui orang-orang seperti ini di sekitar kami, menyalahkan mereka pun terasa tidak tega. Mereka melakukan ini bukan karena keinginan sendiri, bukan pula karena kesalahan mereka, tetapi karena tidak memiliki pilihan lain.

Tekanan yang luar biasa ini sering kali mendorong mereka mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang tambahan dalam waktu singkat. Ujung-ujungnya, mereka terjerumus ke dalam pinjaman online, judi daring, investasi bodong, atau trading dengan uang panas—yang justru menjadi awal kehancuran hidup mereka sendiri.

0 Komentar