Awalnya, niat mereka hanya ingin membahagiakan keluarga dan menyenangkan orang tua. Namun, pada akhirnya, mereka justru terjebak dalam kondisi yang semakin sulit untuk diselamatkan. Kasihan, orang-orang dalam situasi seperti ini benar-benar layak dikasihani.
Penyebab Terbentuknya Generasi Sandwich
Fenomena generasi sandwich ini sebenarnya adalah masalah yang sangat serius. Bahkan, lembaga sebesar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pernah mengeluarkan imbauan kepada para orang tua, khususnya ibu-ibu, agar tidak lagi membebani anak-anak mereka dengan tuntutan dan ekspektasi di luar kemampuan.
Hal ini bertujuan untuk meminimalisasi risiko generasi berikutnya agar tidak terjebak dalam berbagai penipuan yang semakin memperburuk keadaan.
Baca Juga:Bocoran Spesifikasi iPhone 17 Sudah Beredar! Simak 10 Hal yang Perlu Kamu Ketahui5 Langkah Aman Mengatasi Akun Dana Diretas Tanpa Perlu Panik Kena Hack
1. Tuntutan ‘berterimakasih’
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa generasi sandwich menjadi masalah yang semakin serius dalam beberapa tahun terakhir? Selain karena kurangnya literasi keuangan pada generasi orang tua kita, masih banyak orang tua yang menganggap anak sebagai investasi.
Ketika anak sudah dewasa dan bekerja, mereka seakan dituntut untuk berterima kasih dengan cara yang berlebihan—seolah-olah diperlihatkan “tagihan” atas semua pengorbanan yang telah orang tua lakukan.
“Dari kecil sampai sekarang, kami sudah mati-matian membesarkan dan menyekolahkanmu, menghabiskan uang sekian banyak. Sekarang saatnya kamu membalas semuanya, bagaimanapun caranya.”
Sayangnya, banyak orang tua yang berpikiran seperti ini lupa bahwa memiliki anak adalah pilihan mereka sendiri. Anak yang sekarang sudah bekerja dan dituntut untuk memenuhi ekspektasi tersebut tidak pernah meminta untuk dilahirkan.
Hanya karena tekanan sosial di era mereka—yang selalu bertanya “Kapan punya anak?”—banyak orang tua akhirnya memaksakan diri untuk memiliki anak tanpa kesiapan finansial. Akibatnya, mereka harus berjuang mati-matian membesarkan dan menyekolahkan anak dengan berutang, menjual aset, atau mengorbankan banyak hal, dengan harapan kelak sang anak akan mengangkat perekonomian keluarga.
Namun, ketika anak tersebut telah dewasa, ia justru dibebani tuntutan dan ekspektasi yang jauh melampaui kemampuannya—menjadi korban dari harapan orang tuanya sendiri.
2. Anak Laki-Laki Milik Ibu Selamanya
Pola pikir ini semakin diperparah oleh pemahaman yang keliru mengenai ungkapan “anak laki-laki adalah milik ibunya selamanya.” Ungkapan ini pasti sering terdengar, karena kerap dijadikan tameng atau pembenaran oleh orang tua yang toksik untuk menuntut anaknya layaknya mesin uang, atau untuk membenarkan sikap mereka yang tidak sehat.