SUKABUMI EKSPRES – Indonesia sering kali dianggap memiliki sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Argumen ini banyak kita dengar belakangan ini. Rendahnya kualitas SDM berdampak pada sulitnya Indonesia menjadi negara maju, terutama jika dibandingkan dengan Singapura.
Jika melihat sejarah, Indonesia merdeka lebih dulu dibandingkan Singapura. Namun, mengapa Singapura—yang memiliki sumber daya alam terbatas—justru lebih cepat menjadi negara maju? Ada yang berargumen bahwa jumlah penduduk Singapura yang lebih sedikit membuatnya lebih mudah diatur.
Argumen ini memang valid. Namun, jika dibandingkan dengan Indonesia, jumlah pejabat dan aparat pemerintah di sini juga lebih banyak, sehingga secara teori, rasio antara rakyat yang diatur dan pemerintah yang mengatur seharusnya lebih seimbang. Dengan banyaknya jumlah kursi pemerintahan, tak jarang kualitas SDM pejabat di Indonesia juga sama rendah dengan rakyatnya.
Baca Juga:Review Lengkap Asus Zenbook A14 Sebagai Laptop Tipis Berfitur Luar BiasaPahami Setuasi Kerja di Jerman Tahun 2025 Sebelum Memutuskan Pindah ke Sana
Lalu, mengapa kualitas SDM di Indonesia masih tergolong rendah? Apakah ini sepenuhnya kesalahan pemerintah karena dianggap tidak mampu mengelola negara dengan baik? Jawabannya tidak sesederhana itu.
Penyebab SDM Indonesia Rendah
Pembahasan kali ini mungkin akan terasa sensitif atau bahkan menyinggung sebagian orang. Namun, kami hanya ingin menyampaikan hasil riset dan pandangan pribadi mengenai alasan mengapa kualitas SDM di Indonesia masih rendah.
1. Normalisasi Kebiasaan Buruk
Salah satu faktor utama yang memengaruhi rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di Indonesia adalah adanya budaya dan kebiasaan yang kurang baik di masyarakat. Tidak dapat disangkal bahwa Indonesia dikenal dengan budaya yang ramah dan santun. Namun, jika diamati lebih dalam, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya keliru, tetapi terus dilakukan karena telah dianggap sebagai sesuatu yang normal.
Salah satu contoh paling jelas adalah budaya korupsi dan suap. Banyak yang beranggapan bahwa hanya pejabat pemerintah yang sering melakukan tindakan tersebut. Namun, jika ditelaah lebih jauh, masyarakat juga turut berperan dalam melestarikan budaya ini.
Contohnya, dalam dunia pendidikan, ada kasus di mana seorang siswa yang seharusnya tidak naik kelas karena nilai atau etikanya kurang baik, tetapi tetap naik kelas karena orang tuanya menyuap wali kelas atau kepala sekolah.