Inilah sebabnya banyak netizen kita yang dengan mudahnya menghujat orang yang membuat konten edukasi. Mereka tidak memikirkan dampaknya karena merasa aman di balik layar. Namun, faktanya, tidak semua orang yang menghujat menggunakan akun palsu atau anonim.
Ada juga yang menggunakan akun asli mereka. Jadi, efek anonimitas ini tidak selalu berlaku pada mereka. Lantas, mengapa mereka tetap berani memberikan komentar negatif?
2. Netizen Belum Siap Konten Edukasi
Ada fakta menarik, banyak orang Indonesia yang masih belum siap untuk menerima konten yang menantang cara berpikir mereka. Mengapa demikian? Karena konten edukasi memerlukan usaha dan pemikiran, sementara kebanyakan orang lebih memilih hiburan daripada belajar.
Baca Juga:Waspada Penipuan Game Penghasil Uang, Kenali 5 Ciri-Cirinya yang MencurigakanNASA Jelaskan Asteroid 2024 YR4 Berisiko Hantam Bumi, Kekuatan Bisa Lebih dari Bom Atom Hiroshima
Dalam artikel ini disebutkan bahwa banyak netizen yang lebih nyaman dengan konten yang mudah dicerna daripada konten yang mengharuskan mereka berpikir.
Makanya, jika ada konten edukasi yang sedikit saja membuat mereka merasa bodoh, mereka malah bersikap defensif atau membela diri. Bukannya belajar, mereka justru menghujat.
Titik puncak kebodohan seseorang, menurut kami, adalah ketika dia tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu apa-apa dan merasa dirinya sudah pintar. Ini bukanlah kesalahan internet atau media sosial, tetapi lebih kepada budaya berpikir kita yang masih perlu dibangun.
3. Tidak Suka Dikritik
Mengapa mereka menjadi defensif? Sebabnya adalah yang ketiga, yaitu ketidaksukaan terhadap kritik. Netizen kita memiliki masalah besar, yakni kesulitan dalam menerima kritik. Ketika mereka melihat konten edukasi yang bertentangan dengan nilai-nilai mereka, bukannya mencoba memahami, mereka justru langsung marah.
Misalnya, jika ada konten edukasi yang mengatakan bahwa kebiasaan tertentu itu salah, alih-alih berpikir atau mencari tahu lebih dalam kebenarannya, mereka malah menganggapnya sebagai serangan terhadap mereka. Padahal, dari kritik atau masukan ini, seseorang bisa berkembang.
Di sekolah atau perkuliahan, kita sering menemukan pekerjaan kita disalahkan oleh guru atau dosen. Hal ini justru menjadi kesempatan untuk mengetahui kekurangan diri kita yang tidak kita sadari sebelumnya. Fenomena ini disebut cognitive dissonance, yaitu ketidaknyamanan yang muncul ketika otak kita bertemu dengan fakta baru yang bertentangan dengan apa yang kita yakini.