Akibatnya, perbedaan status sosial semakin terlihat antara yang kaya dan yang miskin. Individu yang kurang mampu mungkin merasa tertekan untuk memenuhi standar sosial terkait hidangan dan berkat dalam tahlilan. Mereka bahkan bisa merasa malu jika tidak mampu menyelenggarakan tahlilan yang dianggap “layak” atau justru mendapat stigma negatif dari masyarakat karena dianggap tidak menghormati leluhur atau kurang peduli terhadap nilai-nilai keagamaan.
Ketika suatu keluarga, terutama yang memiliki kondisi ekonomi kurang mampu, harus mengalokasikan dana besar untuk tahlilan, mereka mungkin akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok lainnya, seperti pendidikan anak, kesehatan, atau bahkan makanan sehari-hari.
Sebagai contoh, seorang janda yang ditinggal wafat suaminya dan memiliki dua anak seharusnya lebih memprioritaskan biaya untuk pendidikan, kesehatan, serta kebutuhan sehari-hari. Namun, dana tersebut justru harus dialokasikan untuk biaya tahlilan yang dikatakan sebagai bentuk sedekah demi mengirim pahala kepada almarhum.
Baca Juga:Lengkap Link Jadwal Imsakiyah Ramadhan 2025 di 38 Provinsi Seluruh IndonesiaDaftar 9 Nama dan Wajah Tersangka Kasus Korupsi Pertamina Patra Niaga Beserta Perannya
Padahal, jika tujuan utama tahlilan adalah mendoakan almarhum, hal tersebut bisa dilakukan secara pribadi tanpa harus mengeluarkan biaya besar. Dana yang ada lebih baik digunakan untuk pendidikan anak-anaknya, baik untuk sekolah maupun mondok, sehingga mereka dapat tumbuh menjadi anak yang saleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya.
Sebagaimana diketahui, ada tiga amalan yang pahalanya tidak terputus setelah seseorang meninggal dunia, salah satunya adalah doa dari anak yang saleh. Oleh karena itu, jika tahlilan tetap ingin diadakan, sebaiknya disesuaikan dengan kemampuan. Jika hanya mampu menyediakan air putih dan kue sederhana, maka itu sudah cukup. Seperti yang disampaikan oleh Gus Fahrur dalam NU Online, tahlilan tetap dapat dilaksanakan dengan sederhana, tanpa harus memberatkan shahibul musibah yang memiliki keterbatasan ekonomi.
Di beberapa daerah, masyarakat memang turut membantu keluarga yang berduka dengan memberikan bantuan berupa kebutuhan pokok dan lainnya. Hal ini tentu merupakan tindakan yang baik. Namun, sebaiknya tidak ada harapan agar keluarga yang berduka membalasnya dengan menyajikan hidangan tahlilan yang setara dengan bantuan yang diterima.
Tanggung jawab utama dalam memberikan pemahaman tentang hal ini sebenarnya terletak pada para pemuka agama, terutama di daerah-daerah yang kerap mengadakan tahlilan. Mereka perlu menyosialisasikan bahwa tahlilan bukanlah suatu kewajiban dan jika ingin dilaksanakan, cukup dilakukan secara sederhana sesuai dengan kemampuan, tanpa menjadi ajang adu gengsi yang justru membebani mereka yang kurang mampu.