Namun, terkait besaran nilai kerugian ini, masih terdapat perdebatan. Hal ini karena perhitungan kerugian bukan hanya berdasarkan jumlah uang yang dikorupsi secara langsung, tetapi juga memperhitungkan dampak terhadap keuangan dan ekonomi negara.
Skema Korupsi Pertamina
Belakangan ini, nilai kerugian dalam kasus-kasus besar yang ditangani Kejaksaan sering kali mencengangkan, seperti kasus timah yang disebut mencapai Rp300 triliun, sementara dalam kasus ini angkanya Rp190 triliun per tahun. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana angka-angka ini dihitung.
Sebagai contoh, dalam perhitungan, kompensasi BBM senilai Rp126 triliun dihitung sebagai kerugian. Ini didasarkan pada perubahan anggaran subsidi BBM dalam APBN 2023, yang awalnya dianggarkan sebesar Rp18 triliun, kemudian meningkat menjadi lebih dari Rp200 triliun. Hal-hal seperti ini perlu dianalisis lebih mendalam agar perhitungan kerugian dapat lebih akurat dan presisi.
Baca Juga:Admin Aplikasi SEI Sudah Tidak Aktif Indikasi Kabur, Member Makin Resah Uangnya Tak Akan KembaliReview Lengkap Huawei Mate X6 Sebagai Ponsel Lipat Tercanggih yang Akan Masuk Indonesia
Intinya, dalam kasus ini terdapat tindakan korupsi yang sangat sistematis dan terencana dari hulu ke hilir. Mengapa hal ini disebut sebagai kejahatan luar biasa? Karena cara mereka melakukannya benar-benar terstruktur dan disengaja. Saat ini, proses penyidikan masih berlangsung, dan penjelasan dalam tulisan ini didasarkan pada informasi hasil penyelidikan yang telah dipublikasikan oleh pihak berwenang.
Salah satu modus utama dalam kasus ini adalah permainan suplai minyak. Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa Indonesia merupakan salah satu produsen minyak mentah, meskipun produksinya tidak sebesar dahulu.
Minyak mentah ini seharusnya dapat diolah menjadi bahan bakar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun, sejumlah pejabat di PT Pertamina Patra Niaga secara sengaja menolak penggunaan minyak dalam negeri dengan alasan bahwa kualitasnya tidak sesuai untuk diolah. Akibatnya, produksi minyak nasional diturunkan secara sengaja.
Sebagai contoh, jika produksi minyak seharusnya berada pada angka 10, maka produksi ini sengaja diturunkan menjadi 3. Hal ini menciptakan kondisi seolah-olah terjadi kekurangan pasokan minyak. Namun, ketika kasus ini mulai terungkap, diketahui bahwa kualitas minyak dalam negeri sebenarnya tidak bermasalah dan dapat diolah sebagaimana mestinya.
Selain itu, terdapat dugaan bahwa kontraktor pengolah minyak juga turut menolak mengolah minyak mentah dari dalam negeri. Tujuan dari manipulasi ini adalah untuk menciptakan ketergantungan pada impor minyak. Ketika produksi dalam negeri tidak mencukupi, pemerintah terpaksa melakukan impor, yang kemudian membuka celah korupsi dalam berbagai aspek.