Ada satu teori yang dikembangkan oleh Jack Bologne, seorang pakar kriminologi yang secara khusus mendalami kejahatan kerah putih, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang dari kalangan profesional seperti pejabat, petinggi, atau individu dengan status sosial tinggi. Teori tersebut dikenal dengan nama teori GONE, salah satu teori yang membahas tentang asal mula terjadinya korupsi dalam diri manusia.
Istilah GONE sendiri merupakan singkatan dari, Greed, Opportunity, Need, dan Exposure. Mari kita bahas satu per satu.
1. Greed (Keserakahan)
Keserakahan pada dasarnya tidak memiliki batas. Orang yang melakukan korupsi bukan karena mereka miskin, melainkan karena mereka ingin lebih. Mereka merasa bahwa kekayaan yang dimiliki belum cukup, dan mereka tahu ada cara mudah untuk memperoleh kekayaan lebih, yaitu dengan korupsi.
Baca Juga:44 Link Pengumuman SNBP 2025 Lengkap Beserta Jadwalnya, Buka Mulai Pukul 15.00Jadwal dan Penukaran Uang Baru di Cianjur, Sukabumi dan Cimahi Lebaran 2025
Anda mungkin berpikir, “Tapi bukankah mereka sudah sangat kaya?” Inilah persoalannya. Orang kaya tidak serta-merta merasa puas. Ada istilah yang disebut hedonic treadmill, yaitu kondisi di mana manusia selalu mengejar kebahagiaan baru, namun ketika sudah tercapai, kebahagiaan itu terasa biasa saja dan ia ingin lebih lagi. Sudah memiliki Ferrari, ingin punya Lamborghini. Sudah memiliki kekayaan Rp10 miliar, ingin Rp100 miliar.
Jadi, dalam konteks teori ini, orang kaya yang korupsi bukan karena mereka butuh uang untuk makan, melainkan karena ingin hidup lebih mewah. Namun, keserakahan saja tidak cukup untuk mendorong seseorang melakukan korupsi, jika tidak ada faktor kedua, yaitu kesempatan.
2. Opportunity (Kesempatan)
Anda pasti pernah mendengar kalimat, “Manusia bisa berbuat jahat jika ada kesempatannya.” Inilah yang terjadi dalam praktik korupsi. Banyak pejabat atau orang yang memiliki kekuasaan, memiliki akses terhadap dana dalam jumlah besar, dan terkadang dana tersebut tidak diawasi secara ketat. Dalam situasi seperti itu, mereka memiliki kesempatan untuk mengambil sebagian dana tanpa mudah terdeteksi, apalagi jika tidak ada pemeriksaan yang teliti.
Faktor kesempatan inilah yang membuat tindakan korupsi menjadi mungkin dilakukan, terutama jika didorong oleh keserakahan yang telah disebutkan sebelumnya.
Misalnya, ada sebuah proyek infrastruktur dengan anggaran triliunan rupiah. Jika diselewengkan hanya 5% saja dari total dana tersebut, maka jumlahnya sudah mencapai miliaran rupiah yang bisa masuk ke kantong pribadi. Ditambah lagi, terdapat kemungkinan bahwa lingkungan kerja di sana sudah terbentuk sedemikian rupa—misalnya, banyak yang melihat seniornya melakukan korupsi dan tidak tertangkap. Hal ini jelas bisa menimbulkan pola pikir: “Jika dia bisa, mengapa saya tidak?”