Salah satu eksperimen dilakukan terhadap dua kelompok. Kelompok pertama diberikan soal matematika, dan jika mampu menjawab banyak soal dengan benar, mereka akan diberikan uang sebagai imbalan. Kelompok kedua juga mendapatkan perlakuan yang sama, tetapi dengan satu perbedaan: mereka diberikan kesempatan untuk berbuat curang tanpa ketahuan.
Hasilnya, kelompok kedua cenderung lebih banyak berbuat curang. Mengapa? Karena mereka tahu bisa berbohong tanpa ada konsekuensi.
Sekarang bayangkan jika hal ini terjadi di dunia nyata. Jika seseorang berada dalam lingkungan di mana semua orang melakukan korupsi, lambat laun batas moralnya akan bergeser. Ketika ia melihat atasannya korupsi dan tidak mendapat hukuman, pikirannya akan berkata, “Oh, ini normal, semua orang juga melakukannya.” Inilah yang terjadi di banyak negara.
Baca Juga:44 Link Pengumuman SNBP 2025 Lengkap Beserta Jadwalnya, Buka Mulai Pukul 15.00Jadwal dan Penukaran Uang Baru di Cianjur, Sukabumi dan Cimahi Lebaran 2025
Mungkin pada awalnya seseorang tidak berniat melakukan korupsi, tetapi jika terus-menerus berada di lingkungan yang permisif, lama-kelamaan ia akan menganggap tindakan tersebut sebagai hal yang wajar dan akhirnya menjadi kebiasaan.
Selain pengaruh lingkungan, korupsi juga marak terjadi karena penegakan hukum yang lemah. Hukuman bagi koruptor sering kali tidak cukup menimbulkan efek jera. Bahkan, hukuman tersebut bisa terlihat tidak sebanding dengan kerugian dan dampak dari kejahatan korupsi yang mereka lakukan.
Berbeda dengan di Tiongkok, pemerintah di sana sangat tegas dalam menangani kasus korupsi. Jika seseorang tertangkap melakukan korupsi dalam jumlah besar, hukuman mati bisa dijatuhkan, tanpa memandang jabatan atau status sosial—apakah itu pejabat tinggi, pengusaha kaya, atau tokoh berpengaruh.
Jika seseorang merugikan negara lebih dari 100.000 Yuan (sekitar Rp215 juta), nyawanya bisa menjadi taruhannya. Sudah banyak kasus di mana koruptor benar-benar dieksekusi, bahkan ada yang hukumannya disiarkan secara publik agar memberikan efek jera.
Di Tiongkok, korupsi tidak dianggap sekadar mencuri uang negara, tetapi merupakan bentuk pengkhianatan tertinggi terhadap bangsa. Contoh lain datang dari Jepang. Di sana, hukumannya bukan hukuman mati secara fisik, tetapi hukuman mati secara sosial.
Jepang sangat terkenal dengan budaya malu yang ekstrem. Pejabat yang tertangkap korupsi sering langsung mengundurkan diri karena rasa malu. Bahkan, ada kasus di mana seorang pejabat hanya karena ditraktir makan, merasa malu, lalu mengundurkan diri. Tak sedikit pula yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri karena tidak sanggup menanggung beban rasa malu setelah ketahuan korupsi.