Sejarah Dwifungsi ABRI Sebagai Cikal Bakal RUU TNI yang Hancurkan Demokrasi

RUU TNI
A.H. Nasution dan Presiden Soeharto
0 Komentar

SUKABUMI EKSPRES – Melenggangnya pasal kontroversial dalam Undang-Undang TNI menuai polemik. Pada Kamis, 20 Maret 2025, RUU TNI akhirnya disahkan dalam rapat paripurna menjadi undang-undang. Beberapa pasal yang dikhawatirkan dapat menumbuhkan kembali dwifungsi TNI kini resmi berlaku, termasuk perluasan jabatan yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif.

Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan dwifungsi TNI, atau yang pada masanya dikenal sebagai dwifungsi ABRI?

Konsep dwifungsi ABRI pertama kali dilontarkan oleh Jenderal A.H. Nasution dalam peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional di Magelang pada 12 November 1958. Kala itu, A.H. Nasution menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Gagasan yang dibawanya, yakni konsep jalan tengah, menjadi cikal bakal lahirnya dwifungsi ABRI.

Baca Juga:3 Teori Alam Semesta dan Kehidupan di Luar Planet BumiKolesterol Malah Naik Saat Puasa Ramadan? Kenali 3 Penyebab Utamanya

A.H. Nasution berpendapat bahwa militer sebagai kekuatan politik berhak berperan dalam pemerintahan berdasarkan asas kekeluargaan. Pemikiran ini muncul sebagai respons atas kegagalan politisi sipil dalam merumuskan kebijakan negara, serta tingginya rasa saling curiga antara tentara dan politikus yang menyebabkan ketidakstabilan politik saat itu.

Nasution menegaskan bahwa TNI, khususnya Angkatan Darat, tidak akan memerintah sebagai pemerintahan militer dan tidak akan menjadi alat pasif para politikus. Ia juga menggarisbawahi bahwa peran militer adalah membina negara dan menjaga stabilitas, bukan merebut kekuasaan.

Konsep ini kemudian mendapatkan legitimasi melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959, yang memberikan landasan konstitusional bagi peran politik ABRI sebagai golongan fungsional dan kekuatan sosial-politik. Pada tahun 1962, ABRI mulai membentuk Koramil di setiap kecamatan, Babinsa di setiap desa, serta Resimen Mahasiswa di berbagai kampus.

Sayangnya, implementasi konsep jalan tengah oleh Soeharto di era Orde Baru justru jauh melampaui gagasan A.H. Nasution. Dwifungsi ABRI diartikan sebagai peran ganda militer, yakni sebagai alat pertahanan dan kekuatan politik praktis.

Padahal, tujuan awal dari konsep jalan tengah dan Dwifungsi ABRI adalah agar politisi sipil dan militer terlibat bersama dalam proses perumusan serta pengambilan keputusan politik demi menjaga stabilitas negara.

Namun, Presiden Soeharto memanfaatkan Dwifungsi ABRI untuk mempertahankan kekuasaannya selama tiga dekade. Setelah ia berkuasa, banyak tokoh militer menduduki jabatan strategis seperti menteri, gubernur di 22 dari 26 provinsi, duta besar, bupati, hingga posisi di tingkat desa. Bahkan pada tahun 1967, anggota ABRI mendapat 43 kursi “gratis” di DPR, sementara kursi DPRD sering kali tidak diisi oleh putra daerah.

0 Komentar