Penyebab Standar Perempuan Memilih Pasangan Makin Tinggi Tapi Tidak Realistis

Standar Memilih Pasangan
Standar Perempuan Memilih Pasangan
0 Komentar

Memang ada sebagian orang yang mampu meraih kekayaan fantastis di usia muda, namun jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan banyaknya laki-laki di luar sana. Jika melihat data, rata-rata penghasilan anak muda saat ini berkisar antara Rp2,5 juta hingga Rp5 juta per bulan.

Jadi, bila kita berbicara soal realistis, berharap mendapatkan pasangan yang sudah mapan secara finansial di usia muda merupakan hal yang kurang realistis—bukan berarti tidak mungkin, tetapi kecil kemungkinannya.

Sebenarnya, hal ini bisa kita pahami jika kita berpikir rasional dan mampu melihat kenyataan yang ada. Namun, masalahnya, mengapa tuntutan-tuntutan yang tidak realistis ini justru terasa biasa saja? Salah satu penyebab utamanya adalah pengaruh media sosial dan budaya hipergaul (hypergamy) yang berlebihan.

Baca Juga:Sejarah Dwifungsi ABRI Sebagai Cikal Bakal RUU TNI yang Hancurkan Demokrasi3 Teori Alam Semesta dan Kehidupan di Luar Planet Bumi

Sadarkah kita bahwa media sosial telah menciptakan standar-standar tertentu yang terlalu sempit, seolah-olah semua hal memiliki batas minimum? Padahal, standar-standar tersebut terbentuk tanpa alasan yang rasional dan tanpa mempertimbangkan realitas yang ada di kehidupan nyata.

Sebagai laki-laki, sering kali kita dituntut untuk menjadi sosok yang sempurna, mulai dari memiliki fisik ideal seperti idola mereka, kekayaan yang melimpah, hingga bersikap romantis layaknya tokoh dalam film-film cinta yang mereka tonton.

Padahal, kenyataannya tidak semua laki-laki memiliki fisik yang dianggap ideal, kondisi finansial setiap orang berbeda-beda, dan sikap romantis sejatinya bukanlah sesuatu yang bisa dibuat-buat hanya demi menyesuaikan diri dengan pasangan.

Lebih parah lagi, beberapa hal yang dianggap laki-laki sebagai bentuk usaha atau effort, justru dianggap hal yang biasa saja oleh sebagian perempuan. Bahkan, tidak jarang usaha tersebut dinilai sebagai sesuatu yang “seharusnya” dilakukan dan tidak ada yang istimewa dari itu. Padahal, semua itu sangat bergantung pada sudut pandang masing-masing.

Misalnya, bagi seorang perempuan, diberi hadiah berupa barang seharga puluhan ribu rupiah mungkin dianggap sebagai hal biasa. Namun, bisa jadi uang yang digunakan untuk membeli hadiah tersebut adalah satu-satunya uang yang dimiliki laki-laki itu demi membahagiakan pasangannya.

Dalam kasus seperti ini, bisa saja laki-laki tersebut dianggap bodoh karena tetap memaksakan diri menjalin hubungan meskipun sadar kondisi keuangannya terbatas. Namun, poin pentingnya adalah effort atau usaha tidak bisa diukur hanya dari nominal uang ataupun sudut pandang sepihak. Usaha harus dilihat dari sejauh mana seseorang berjuang dengan keterbatasan yang ia miliki.

0 Komentar