Fenomena absurd ini terlihat ketika lulusan S1 Sastra Arab dengan IPK 3,8 terpilih sebagai staf keuangan, sementara lulusan SMK Akuntansi dengan pengalaman kerja tiga tahun harus gigit jari. Hal ini menunjukkan bahwa sistem rekrutmen di Indonesia belum sepenuhnya berbasis pada kemampuan nyata. Dunia kerja kita masih cenderung menilai seseorang dari gelarnya—asal S1, dianggap lebih kompeten. Itulah kesimpulan yang diambil oleh banyak rekruter.
Pertarungan Semu di Dunia Kerja Hanya Ada Gelar vs Kompetensi
Di media sosial seperti LinkedIn, kita sering melihat profil yang dipenuhi gelar S2, S3, bahkan tumpukan sertifikat. Tidak jarang, unggahan semacam itu hanya berhenti sebagai ajang pamer tanpa ada korelasi nyata dengan prestasi kerja.
“Bro, gue baru lulus S2, udah bisa jadi expert marketing, lah ya?” ujar Ali kepada temannya.
Baca Juga:Menyikapi Fenomena Ormas Ramai Minta THR Jelang LebaranBocoran Spesifikasi Poco F7 Ultra Usung Prosesor Snapdragon 8 Elite Terbaru, Ini Review Lengkapnya
Si teman berseloroh, “Expert di LinkedIn atau di dunia nyata, nih?”
Pada kenyataannya, keahlian seseorang tidak selalu sebanding dengan gelar akademiknya. Contohnya, Dika, lulusan S2 Marketing dari universitas ternama, tetapi masih kesulitan membedakan branding dan advertising. Saat bosnya meminta strategi pemasaran yang komprehensif, ia hanya menjiplak artikel “5 Tips Pengusaha Sukses” dari blog berbahasa Inggris—atau bahkan sekadar bertanya pada ChatGPT.
Dalam Pasal 1 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, gelar akademik didefinisikan sebagai penghargaan atas keberhasilan menyelesaikan pendidikan. Tidak ada satu pun frasa yang menyebutnya sebagai bukti kompetensi profesional. Gelar hanya menandakan bahwa seseorang telah menyelesaikan ujian skripsi dan memenuhi jumlah SKS yang ditetapkan.
Fenomena ini menjadi ironi ketika orang-orang dengan gelar akademik tinggi justru kalah bersaing dengan autodidak yang serius belajar melalui tutorial daring. Seorang desainer lepas tanpa ijazah bisa mendapatkan klien internasional karena portofolionya meyakinkan, sementara lulusan S1 Desain Komunikasi Visual dengan IPK 3,9 hanya tampak keren di foto profil.
Gelar Tidak Selalu Berarti Kompetensi
Nama besar kampus tidak serta-merta menjamin keberhasilan di dunia kerja jika tidak diiringi dengan bukti nyata kompetensi. Karena itu, penting untuk menghindari pemikiran ekstrem, baik yang menganggap “yang penting sarjana dulu” maupun yang meremehkan pendidikan formal dengan “sarjana hanya paham teori”. Keseimbangan antara pencapaian akademik dan pengalaman nyata di lapangan adalah kunci utama kesuksesan.