Terdapat profesi yang memang membutuhkan gelar dan lisensi resmi, seperti insinyur, dokter, apoteker, atau notaris. Dalam kasus ini, menempuh pendidikan sarjana dan lanjutannya menjadi suatu keharusan untuk memastikan kompetensi serta standar keselamatan masyarakat terpenuhi. Tidak ada orang waras yang ingin menjalani operasi jantung oleh dokter abal-abal yang hanya belajar dari YouTube.
Namun, di luar profesi yang teregulasi, keharusan memiliki gelar menjadi hal yang kabur. Banyak perusahaan mensyaratkan minimal S1 untuk posisi entry level, padahal tugas yang dijalankan sangat mendasar. Lulusan SMK yang lebih unggul dalam praktik di lapangan sering kali diabaikan hanya karena tidak memiliki ijazah S1 dalam kolom pendidikan.
“Kalau kita rekrut yang tidak punya ijazah, bagaimana nanti?” ujar seorang atasan di kantin sambil tertawa. “Kita kan bisa ambil yang minimal S1.”
Baca Juga:Menyikapi Fenomena Ormas Ramai Minta THR Jelang LebaranBocoran Spesifikasi Poco F7 Ultra Usung Prosesor Snapdragon 8 Elite Terbaru, Ini Review Lengkapnya
Dalam konteks ini, gelar seharusnya berfungsi sebagai perlindungan publik, bukan sekadar simbol kebanggaan pribadi. Namun, realitanya justru menciptakan kesenjangan di pasar tenaga kerja. Orang-orang yang unggul dalam praktik tetapi miskin gelar sering kali kalah bersaing dengan calon karyawan yang hanya bermodal ijazah, meskipun kemampuan mereka masih meragukan. Akibatnya, lulusan dari “pabrik ijazah” dapat dengan mudah mendapatkan posisi tertentu meskipun kompetensinya belum teruji. Kita seakan lupa bahwa gelar akademik hanyalah salah satu tolok ukur, bukan jaminan mutu yang mutlak.
Menimbang Ulang Makna Gelar
Indonesia telah berubah menjadi pasar gelar. Ijazah kini bagaikan kartu anggota VIP untuk memasuki “klub eksklusif” bernama pengangguran. Banyak orang mengejar gelar bukan karena kompetensi, melainkan demi memenuhi syarat administratif:
S1 sebagai tiket masuk dunia kerja, S2 agar dianggap pintar, S3 supaya bisa menjadi influencer atau pembicara di forum-forum.
Sementara itu, kampus terus memproduksi lulusan, dan perusahaan lebih mementingkan citra merek dibandingkan kompetensi nyata. Akibatnya, banyak orang memiliki gelar, tetapi keahliannya terbengkalai.
Kita semua memahami bahwa gelar itu seperti SIM—wajib dimiliki, tetapi tidak menjamin seseorang bisa mengemudi dengan baik. Baik mahasiswa maupun pekerja sadar bahwa tumpukan gelar tidak menjamin keberhasilan tanpa kompetensi. Bukan berarti gelar tidak penting, tetapi seharusnya menjadi bukti dari proses belajar, bukan sekadar label mahal di CV.