Alasan Masyarakat Menuntut Keaslian Ijazah Jokowi
Melihat kontroversi panjang terkait ijazah Presiden Jokowi, muncul sebuah pertanyaan besar, mengapa masyarakat masih terus mempermasalahkan keaslian ijazah beliau, padahal masa jabatannya telah berakhir?
Untuk menjawab hal ini, kita dapat melihatnya melalui teori simbolik interaksionisme. Teori ini menyatakan bahwa masyarakat kerap memperlakukan simbol sebagai dasar dalam bertindak. Dalam konteks ini, perdebatan mengenai ijazah Jokowi tidak semata-mata soal dokumen pendidikan, melainkan telah menjadi simbol dari keabsahan, integritas, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Apabila simbol ini (ijazah) bermasalah, maka yang dipertaruhkan bukan hanya nama Presiden Jokowi semata, tetapi juga legitimasi politik selama sepuluh tahun terakhir. Secara logika, akan muncul pertanyaan: bagaimana mungkin bangsa ini bisa kecolongan selama satu dekade jika memang benar ijazah tersebut palsu?
Baca Juga:Sisi Gelap Zara Sebagai Brand Fast Fashion Terkemuka di Dunia4 Faktor Penyebab Rendahnya Kualitas Guru di Indonesia dan Solusinya
Jika dugaan itu benar, masyarakat tentu merasa telah dibohongi, dan secara hukum, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat atau dokumen. Namun, sekali lagi, ini berlaku jika ijazah tersebut benar-benar palsu.
Alasan mengapa sebagian masyarakat masih terus mempertanyakan keaslian ijazah Presiden Jokowi bisa jadi merupakan cerminan dari ketidakpuasan terhadap kinerja beliau selama dua periode menjabat sebagai presiden. Dalam dunia politik, meskipun seorang pemimpin memiliki banyak pendukung, akan selalu ada pihak yang tidak setuju, bahkan membenci. Oleh karena itu, di antara mereka yang meragukan keaslian ijazah, besar kemungkinan ada yang dipengaruhi oleh rasa tidak puas terhadap kepemimpinan Jokowi.
Banyak pihak kemudian berusaha mencari kekurangan dari tokoh yang tidak mereka sukai. Meskipun di era Presiden Jokowi pembangunan infrastruktur mengalami peningkatan signifikan, tetap ada berbagai kritik yang dilontarkan masyarakat. Di antaranya adalah peningkatan utang negara, kasus-kasus korupsi yang mencuat, hingga dugaan bahwa beberapa kebijakan beliau menjelang akhir masa jabatan merupakan upaya sistematis untuk memperpanjang pengaruh kekuasaan.
Contohnya, Jokowi dianggap memiliki peran dalam perubahan aturan konstitusi yang memungkinkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai wakil presiden, meski belum memenuhi syarat usia sesuai aturan sebelumnya.