Perjuangan RA Kartini untuk Hapus Sistem Feodalisme Bagi Perempuan

RA Kartini
Perjuangan RA Kartini
0 Komentar

Sebelum dipinang sebagai Raden Ayu, seorang perempuan bangsawan yang telah menginjak usia 12 tahun harus menjalani masa pingitan. Ini adalah sebuah tradisi di kalangan bangsawan Jawa pada masa itu, di mana perempuan tidak diperkenankan keluar rumah hingga tiba saatnya untuk menikah.

Kartini menjalani berbagai upacara adat, seperti upacara cukur rambut, turun bumi, dan ritual adat lainnya. Pada hari-hari awal masa pingitannya, Kartini merasa gelisah, bosan, jenuh, bahkan sedikit iri kepada teman-teman dan saudara-saudaranya yang masih dapat melanjutkan sekolah.

Sosok yang Mengubah Pemikiran Kartini

Di tengah kejenuhan itu, terdapat dua sosok yang sangat peduli terhadap kegelisahan Kartini. Sosok pertama adalah kakak laki-lakinya, Sosrokartono, yang saat itu mendapat kesempatan menempuh pendidikan di bidang kewarganegaraan. Sosrokartono sering mengirimkan buku-buku berkualitas dari luar negeri untuk memenuhi dahaga Kartini akan ilmu pengetahuan.

Baca Juga:4 Faktor Penyebab Rendahnya Kualitas Guru di Indonesia dan Solusinya37 Kode Promo tiket.com Maret 2025 Spesial Lebaran Penuh Diskon Gede-Gedean

Sosok kedua adalah Nyonya Marie Ovink-Soer, seorang perempuan Belanda yang memperlihatkan dunia dari sudut pandang berbeda kepada Kartini. Pada masa itu, khususnya di kalangan masyarakat Jawa, seorang istri harus mematuhi tatanan tertentu dalam berkomunikasi, seolah-olah derajat perempuan berada di bawah laki-laki.

Perempuan yang berani menentang keputusan suami dianggap melakukan pelanggaran besar. Bahkan, cara berkomunikasi seperti gerak tubuh (gestur) dan tatapan mata terhadap lawan bicara pun memiliki aturan yang ketat.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang Kartini saksikan dari hubungan antara Nyonya Marie Ovink-Soer dan suaminya. Kartini melihat bahwa suami dan istri dapat memiliki hak dan suara yang setara sebagai manusia yang merdeka.

Dari kehidupan keluarga Ovink-Soer, buku-buku yang ia baca, serta diskusi-diskusi yang ia lakukan, Kartini mulai memahami nilai-nilai modernitas yang sangat berbeda dengan tradisi yang membelenggu perempuan pribumi.

Kartini pun semakin yakin bahwa perempuan Indonesia, khususnya perempuan pribumi, juga layak mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki.

Hari-hari awal masa pingitan Kartini diisi dengan berbagai kegiatan seperti belajar memasak, membatik, dan menulis surat. Untuk menghilangkan kejenuhannya, Kartini banyak membaca karya sastra feminis dan anti-perang, seperti The Jungle Book, karya Upton Sinclair; Die Waffen nieder! karya Bertha von Suttner; tulisan-tulisan Van Eeden; serta Max Havelaar karya Multatuli yang mengisahkan ketidakadilan sistem Cultuurstelsel atau tanam paksa.

0 Komentar