Perjuangan RA Kartini untuk Hapus Sistem Feodalisme Bagi Perempuan

RA Kartini
Perjuangan RA Kartini
0 Komentar

Semua buku yang dibaca Kartini dikirimkan oleh kakak laki-lakinya yang sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Buku-buku tersebut semakin membakar semangat Kartini untuk memperjuangkan nasib perempuan pribumi agar memperoleh hak yang setara dengan laki-laki.

Kegemaran Kartini dalam membaca dan rasa ingin tahunya yang tinggi membuatnya memiliki kemampuan menulis yang luar biasa, meskipun ia tidak menempuh pendidikan formal secara lengkap. Rasa ingin tahu yang tak terbendung, disertai kegelisahan yang ia rasakan dan saksikan sendiri, dituangkan oleh Kartini dalam bentuk tulisan yang indah, tegas, dan berani.

Pemikiran-pemikiran Kartini tidak hanya terekam dalam kepalanya dan menjadi tulisan. Ia mulai menunjukkan bentuk perlawanan terhadap nilai-nilai dan adat kuno, dimulai dari lingkungan terdekatnya, yaitu kepada dua adik perempuannya, Rukmini dan Kardinah.

Baca Juga:4 Faktor Penyebab Rendahnya Kualitas Guru di Indonesia dan Solusinya37 Kode Promo tiket.com Maret 2025 Spesial Lebaran Penuh Diskon Gede-Gedean

Kartini tidak ingin adik-adiknya meneruskan praktik adat Jawa kuno, seperti berjalan jongkok di depannya, menyembah, berbicara dengan bahasa krama inggil, dan mengikuti etiket feodal lainnya. Kartini mengizinkan adik-adiknya berbicara dan bersikap tanpa terikat aturan-aturan tersebut.

Selain mendobrak tatanan hidup yang sangat tertinggal, Kartini juga tampil berbeda dari perempuan-perempuan lain pada zamannya. Ia tidak selalu tampak seperti yang kita lihat dalam foto-foto di buku sejarah.

Dalam kesehariannya, Kartini adalah pribadi yang aktif, kritis, tidak selalu patuh, lincah, berpikiran luas, humoris, dan tidak sungkan tertawa terbahak-bahak. Karena sifatnya yang dinamis dan tidak bisa diam, keluarganya bahkan menjulukinya dengan sebutan “Jaran Kore” atau “kuda liar.”

Namun, Kartini tidak memedulikan julukan tersebut. Ia tetap yakin bahwa tidak semua tatanan adat harus dilestarikan, terutama jika adat tersebut merendahkan martabat perempuan. Keyakinan dan semangat Kartini dalam memperjuangkan kesetaraan hak sebagai manusia akhirnya membuahkan hasil. Bersama adik-adiknya, ia berhasil meyakinkan sang ayah untuk membebaskan mereka dari masa pingitan.

Momen penting ini terjadi pada 2 Mei 1898, saat Kartini bersama Rukmini dan Kardinah diizinkan keluar rumah untuk menghadiri perayaan penobatan Ratu Wilhelmina di Semarang. Peristiwa ini menjadi salah satu titik awal kebebasan mereka sebagai perempuan yang merdeka dalam berpikir dan bertindak.

0 Komentar