Setelah bebas dari masa pingitan, Kartini mendirikan sekolah pertama bagi perempuan pribumi di tanah Hindia Belanda. Pada awalnya, sekolah tersebut hanya memiliki satu murid. Bagi masyarakat pribumi pada masa itu, menyekolahkan anak perempuan merupakan hal yang sangat aneh dan dianggap radikal.
Kartini tidak hanya tercatat sebagai pendiri sekolah perempuan pertama. Menurut Didi Kwartanada, seorang sejarawan dari Yayasan Nabil, Kartini juga dapat disebut sebagai jurnalis pertama sekaligus antropolog pertama di Indonesia.
Pada suatu kesempatan, Kartini pernah menulis catatan tentang praktik perkawinan di Tanah Koja secara sangat rinci, menggunakan teknik jurnalistik—mulai dari mengumpulkan informasi, mengolah data, hingga mendokumentasikannya.
Baca Juga:4 Faktor Penyebab Rendahnya Kualitas Guru di Indonesia dan Solusinya37 Kode Promo tiket.com Maret 2025 Spesial Lebaran Penuh Diskon Gede-Gedean
Selain mengajar perempuan pribumi, Kartini juga aktif menyampaikan pemikirannya melalui surat-surat kepada sahabat penanya di Belanda yang bernama R.M. Abendanon dan F.T. van Kol, serta Stella Zeehandelaar, yang akrab disapa Stella. Melalui hubungan korespondensi inilah Kartini mengenal lebih banyak tokoh feminis Eropa, seperti Rosa Manus, Hélène Mercier, Hilda van Suylenburg, Gerarda H. Abendanon, dan Henri Huberta Ponce.
Selama masa pingitan, Kartini masih memiliki impian besar untuk menuntut ilmu dan melihat dunia yang lebih luas. Ia mengajukan permohonan kepada J.H. Abendanon, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, agar diizinkan melanjutkan sekolah ke luar negeri.
Sayangnya, permintaan tersebut ditolak oleh Abendanon karena ia khawatir masyarakat lokal akan memiliki persepsi negatif terhadap Kartini. Selain itu, sekolah yang didirikan oleh Kartini saat itu mulai berkembang pesat dengan jumlah murid yang terus bertambah, sehingga keberangkatannya ke luar negeri dinilai tidak tepat waktu. Kondisi kesehatan ayah Kartini yang semakin memburuk juga menjadi pertimbangan lain yang menyebabkan impiannya harus ditunda.
Pernikahan RA Kartini
Kartini yang baru berusia 24 tahun mendapatkan lamaran pernikahan dari Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, untuk menjadi istri keempatnya. Awalnya, Kartini menolak lamaran tersebut. Ayahnya yang dikenal cukup egaliter tidak memaksakan kehendaknya.