Perjuangan RA Kartini untuk Hapus Sistem Feodalisme Bagi Perempuan

RA Kartini
Perjuangan RA Kartini
0 Komentar

Namun, pada masa itu, perempuan yang sudah berusia 24 tahun dan belum menikah dianggap sebagai aib bagi keluarga. Tekanan sosial dan omongan orang menyebabkan kondisi kesehatan ayah Kartini semakin memburuk. Melihat hal tersebut, Kartini pun akhirnya menerima lamaran tersebut demi menjaga perasaan sang ayah.

Kartini akhirnya bersedia dinikahi oleh Adipati Ario Adiningrat, namun ia mengajukan beberapa syarat dalam ikatan pernikahan tersebut. Pertama, Kartini menolak segala bentuk prosesi adat yang melambangkan ketidaksetaraan, seperti berjalan jongkok, berlutut, menyembah kaki suami, atau gestur-gestur feodal lainnya. Ia juga meminta untuk diizinkan berbicara kepada suaminya menggunakan bahasa Jawa ngoko, bukan bahasa krama inggil yang menunjukkan hierarki dalam budaya Jawa.

Adipati Ario Adiningrat menerima semua syarat tersebut, salah satunya karena menghormati wasiat mendiang istrinya yang ingin anak-anak mereka diasuh dan dibesarkan oleh Kartini.

Baca Juga:4 Faktor Penyebab Rendahnya Kualitas Guru di Indonesia dan Solusinya37 Kode Promo tiket.com Maret 2025 Spesial Lebaran Penuh Diskon Gede-Gedean

Dari pernikahannya dengan Adipati Ario Adiningrat, Kartini melahirkan seorang putra bernama Raden Mas Soesalit Djojoadhiningrat. Namun sayang, empat hari setelah melahirkan, kondisi kesehatan Kartini menurun drastis hingga akhirnya wafat pada 17 September 1904 dalam usia 25 tahun.

Setelah kepergian Kartini, J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini kepada sahabat-sahabatnya di Eropa. Kumpulan surat itu diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya). Buku ini mengejutkan masyarakat Amsterdam ketika diterbitkan pada tahun 1911. Sejak saat itu, suara Kartini terdengar luas hingga ke penjuru Eropa dan Hindia Belanda.

Dari buku yang memuat pemikiran dan gagasannya tersebut, Kartini dikenal sebagai sosok perempuan yang memecah keheningan budaya patriarki dan menjadi pelopor gerakan emansipasi perempuan di Nusantara.

Pada 2 Mei 1964, Presiden Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Tanggal kelahirannya pun diperingati sebagai Hari Kartini, yang hingga kini kita kenang dan rayakan setiap tanggal 21 April.

Warisan pemikiran Kartini bagi peradaban Indonesia tidak hanya dituangkan dalam bentuk buku. Pada tahun 1912, keluarga Van Deventer mendirikan Yayasan Kartini dan mendirikan Sekolah Kartini pertama di Semarang. Sekolah ini kemudian diikuti oleh pendirian sekolah serupa di berbagai kota lain, seperti Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan beberapa daerah lainnya.

0 Komentar