Mendag Lutfi menyampaikan, pada 2021 surplus perdagangan tertinggi Indonesia dengan negara mitra dicatatkan oleh perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) dengan nilai USD 14,52 miliar, disusul dengan Filipina (USD 7,33 miliar), dan India (USD 5,62 miliar).
Sementara perdagangan Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada 2021 mengalami defisit sebesar USD 2,45 miliar. Namun, defisit ini berkurang hingga 68,84 persen dibandingkan pada 2020 yang sebesar USD 7,85 miliar.
Lebih lanjut Mendag Lutfi juga menyampaikan, Kemendag akan terus menjaga momentum pertumbuhan ekspor di tahun 2022. Sejumlah tantangan yang menjadi perhatian utama Mendag Lutfi adalah kebijakan tapering off, hambatan logistik dunia, krisis energi, serta strategi menghadapi pandemi Covid-19.
Baca Juga:Mendag: Pemerintah Tetapkan Harga Minyak Goreng Rp 14.000 per LiterManfaatkan Dana BPDP, Mendag Lutfi Komit Stabilkan Harga Minyak Goreng Lewat Operasi Pasar
“Indonesia memperhatikan kebijakan tapering off oleh Amerika Serikat. Selain itu, diharapkan penyelesaian gangguan logistik global akan lebih baik pada 2022. Pemerintah juga tengah menyiapkan sejumlah langkah strategis untuk mengatasi krisis energi dalam perekonomian global serta terus melakukan upaya pengendalian pandemi Covid-19. Langkah ini perlu dilakukan untuk mendorong kinerja perdagangan dan menjaga momentum pertumbuhan ekspor,” tegasnya.
Terkait perjanjian dagang, Mendag Lutfi menambahkan saat ini yang sedang diupayakan dan menuju tahap penyelesaian di antaranya dengan Uni Emirat Arab yang diharapkan dapat selesai Maret 2022. Selanjutnya, Preferential Trade Agreement (PTA) dengan Bangladesh yang juga dalam tahap penyelesaian di tahun 2022.
“Selanjutnya, Tunisia yang akan dipercepat. Sedangkan dengan Turki dan Iran akan segera dimulai kembali putarannya. Untuk Uni Eropa juga sudah memasuki putaran kesebelas dan ditargetkan selesai akhir 2022. Beberapa perundingan dengan negara mitra dagang lainnya yang sudah memasuki tahap awal juga akan diteruskan, di antaranya India, Kanada, Pakistan untuk perdagangan barang, dan Chile untuk perdagangan jasa.” tutup Mendag Lutfi.
Stabilitas Harga Bahan Pokok Tekan Inflasi Volatile Food
Sementara itu, di sektor perdagangan dalam negeri, Mendag Lutfi mengungkapkan, secara umum inflasi volatile food sepanjang 2021 sebesar 3,20 persen YoY, relatif rendah dibanding tahun sebelumnya sebesar 3,62 persen YoY. Pada 2021, volatile food menyumbang 16 persen dari keseluruhan inflasi yang tercatat sebesar 1,87 persen YoY.
Jika dilihat dinamika inflasi selama empat tahun terakhir, terdapat dua periode kenaikan harga setiap tahunnya, yakni pada periode Puasa–Lebaran serta Natal–Tahun Baru. Namun, pada periode Puasa–Lebaran 2021, inflasi volatile food di bawah satu persen. Hal ini menunjukan tidak terjadi kenaikan harga yang terlalu signifikan. Hal ini disebabkan oleh pasokan pangan yang cukup dan permintaan yang belum pulih sepenuhnya akibat pandemi. Sementara pada periode Natal dan Tahun Baru 2021, komoditas yang menyumbang inflasi antara lain telur, daging ayam, minyak goreng, cabai rawit merah, dan daging sapi.