Semangat Hari Ibu dalam Partisipasi Politik Perempuan

Semangat Hari Ibu dalam Partisipasi Politik Perempuan
0 Komentar

R.A. Soekonto selaku pimpinan Panitia Kongres Perempuan saat itu, dikutip dari buku karya Blackburn dalam sambutannya mengatakan:

“Zaman sekarang adalah zaman kemajuan. Oleh karena itu, zaman ini sudah waktunya mengangkat derajat perempuan agar kita tidak terpaksa duduk di dapur saja. Kecuali harus menjadi nomor satu di dapur, kita juga harus turut memikirkan pandangan kaum laki-laki sebab sudah menjadi keyakinan kita bahwa laki-laki dan perempuan mesti berjalan bersama-sama dalam kehidupan umum. Perempuan tidak lantas menjadi laki-laki, perempuan tetap perempuan, tetapi derajatnya harus sama dengan laki-laki, jangan sampai direndahkan seperti jaman dahulu.”

Kongres Perempuan I tersebut dihadiri juga oleh kaum lelaki seperti PNI, Pemuda Indonesia, Boedi Oetomo, PSI, Muhammadiyah, Walfadji, Jong Java, Jong Madoera dan Jong Islamieten Bond. Mereka hadir memberikan dukungan untuk perjuangan politik perempuan pada saat itu. Dalam kajian feminisme, organisatoris dan politisi dari kaum lelaki yang hadir tersebut dapat disebut sebagai male feminits (feminis laki-laki). Feminis laki-laki ini adalah laki-laki yang mendukung feminisme dan upaya-upaya untuk menghadirkan kesetaraan dan keadilan gender. Sebuah pelajaran yang sangat menginspirasi untuk semua kaum lelaki hari ini dan para pemimpin, politisi dan aktivis selaku public opinion leader.

Baca Juga:Kelurahan Babakan Kota Sukabumi Deklarasi sebagai Wilayah ODFPemkot Sukabumi Berikan Apresiasi kepada Insan Pendidikan

Bertepatan pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia 1928, Negara kemudian meresmikan perayaan Hari ibu secara nasional pada tanggal 22 Desember. Dimana Presiden Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia Nomor 316 tahun 1959 pada tanggal 19 Desember 1959. Melalui hari Ibu, Presiden Soekarno pada saat itu ingin mengajak bangsa Indonesia untuk mendukung semangat Perempuan Indonesia dan meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Pengetahuan sejarah yang kurang saat ini telah membuat pemaknaan Hari Ibu bergeser dari tujuan awal semangat juang politik Kongres Perempuan dan pandangan politik Presiden Soekarno tersebut. Dimana saat ini perayaan Hari ibu hanya terjebak pada makna domestik semata. Hari tersebut dirayakan dengan cara membebastugaskan seorang Ibu dari aktivitas rutinitas keseharian seperti merawat anak, memasak dan urusan rumah tangga lainnya. Perayaan hari ibu dirayakan dengan saling bertukar hadiah dan menyelenggarakan berbagai acara dan kompetisi seperti lomba memasak dan memakai kebaya. Padahal jika hari Ibu hanya dimaknai dalam konteks domestik semata, tidak perlu harus menunggu tanggal 22 Desember di setiap tahunnya yang demikian lebih tepat diperingati setiap hari.

0 Komentar