Sebagai contoh, ketika seseorang enggan berusaha dan hanya bermalas-malasan dalam bekerja, ia mungkin menggunakan alasan bahwa rezeki sudah diatur oleh Tuhan, sehingga merasa tenang dan tidak menganggap hal itu sebagai kesalahannya sendiri.
Padahal, besar atau kecilnya rezeki yang diperoleh tetap membutuhkan usaha dari individu itu sendiri. Jika seseorang tidak berusaha menjemput rezekinya, maka rezeki tersebut tidak akan datang dengan sendirinya.
Kami percaya bahwa rezeki memang telah diatur, tetapi konsep ini tidak seharusnya dijadikan pembenaran untuk membatasi diri dalam berusaha. Meskipun takdir menentukan bagian dari rezeki seseorang, bukan berarti hal itu dapat dijadikan alasan untuk bermalas-malasan, seolah-olah kegagalan dalam mencapai sesuatu bukanlah kesalahannya sendiri. Sebaliknya, seharusnya seseorang melakukan introspeksi dan mencari cara untuk memperbaiki keadaan.
Baca Juga:Segera Daftar Program Mudik Gratis 2025 ke Jawa Tengah Cukup Lampirkan Syarat IniPerbedaan OKB dan OKL yang Sebenarnya, Berbeda dengan Streotip Masyarakat Saat Ini
Contoh lainnya adalah ketika seseorang berada dalam kondisi miskin, ia mungkin menggunakan dalil-dalil keagamaan untuk menutupi kekurangan tersebut, seolah-olah apa yang terjadi padanya bukan merupakan tanggung jawabnya sama sekali.
Memang benar bahwa kemiskinan dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk faktor di luar kendali seseorang, seperti kondisi sejak lahir atau ketimpangan sistemik yang sering disebut sebagai kemiskinan struktural.
Namun, dalam beberapa kasus, kemiskinan justru sering “diromantisasi” dengan pernyataan-pernyataan yang menganggapnya sebagai sebuah keberkahan, sementara orang-orang yang berusaha mencari kekayaan dianggap terlalu duniawi. Misalnya, ada anggapan bahwa orang miskin lebih cepat masuk surga atau lebih dikaming oleh Tuhan. Padahal, baik buruknya seseorang tidak ditentukan oleh kaya atau miskinnya, melainkan oleh amal perbuatannya.
Jika kita berpikir secara realistis, semakin banyak uang yang kita miliki, justru semakin besar peluang kita untuk membantu orang lain. Semakin banyak orang yang kita bantu, semakin banyak pula amal yang kita peroleh.
Ironisnya, romantisasi terhadap kemiskinan sering kali digunakan sebagai bentuk penghiburan, seolah-olah kondisi tersebut akan membawa keberkahan di kehidupan akhirat nanti. Padahal, tolok ukur keberkahan bukanlah kemiskinan itu sendiri, melainkan bagaimana seseorang menjalani hidupnya.
Kami kurang memahami pola pikir sebagian orang yang menganggap bahwa kehidupan dunia dan akhirat harus diperjuangkan dengan mengorbankan salah satu di antaranya. Misalnya, ada anggapan bahwa orang miskin lebih cepat masuk surga, sedangkan orang kaya lebih lama masuk surga. Padahal, kehidupan dunia dan akhirat dapat dikejar secara bersamaan tanpa perlu mengorbankan salah satunya.