Menurut kami, justru orang yang lahir di suatu zaman lebih memahami dinamika zamannya sendiri. Setiap generasi memiliki masanya masing-masing. Perbedaan perspektif yang terjadi antara generasi sering kali menimbulkan ketegangan antara anak dan orang tua, karena adanya ketidaksesuaian dalam cara berpikir.
Terlebih lagi, banyak orang tua saat ini masih berpegang pada pandangan bahwa mereka selalu lebih tahu segalanya hanya karena faktor usia. Hal ini kemudian memicu perselisihan antargenerasi, di mana satu pihak merasa benar karena telah lebih lama menjalani hidup, sementara pihak lainnya merasa benar karena lebih memahami kondisi zaman mereka sendiri.
Solusi yang dapat menjadi jalan tengah adalah orang tua seharusnya lebih bijak dalam memberikan informasi kepada anaknya. Artinya, mereka cukup memberikan saran dan wawasan tanpa terkesan memaksakan pendapat. Begitu pula dengan generasi muda, mereka seharusnya dapat menerima masukan dari yang lebih tua secara bijak tanpa merasa digurui. Meskipun generasi muda lebih relevan dengan perkembangan zaman saat ini, tidak ada salahnya untuk mendengarkan pengalaman dan nasihat dari generasi sebelumnya.
Baca Juga:Segera Daftar Program Mudik Gratis 2025 ke Jawa Tengah Cukup Lampirkan Syarat IniPerbedaan OKB dan OKL yang Sebenarnya, Berbeda dengan Streotip Masyarakat Saat Ini
Namun, kami rasa hal ini terdengar terlalu ideal jika kedua belah pihak masih memiliki ego yang tinggi dan kurangnya empati. Ketika ego mendominasi, diskusi yang sehat menjadi sulit, dan perdebatan antargenerasi pun semakin sulit diselesaikan. Oleh karena itu, solusi utama dari konflik semacam ini adalah kedua belah pihak harus menurunkan ego mereka dan saling berempati agar komunikasi dapat berjalan dengan baik.
Pola pikir yang selalu beranggapan bahwa orang yang lebih tua pasti lebih tahu justru dapat menghambat kemajuan. Banyak orang yang merasa dirinya lebih berpengetahuan hanya karena usianya lebih tua, sehingga mereka enggan belajar dari generasi yang lebih muda. Padahal, tingkat pengetahuan seseorang tidak selalu bergantung pada usia, melainkan pada pengalaman serta relevansi wawasan yang dimiliki.
3. Anggapan Mistis
Selain itu, pola pikir lain yang dapat menghambat kemajuan adalah kebiasaan menyederhanakan suatu fenomena dengan hal-hal gaib. Ada kecenderungan sebagian orang untuk selalu mengaitkan segala sesuatu dengan cara-cara curang atau mistis. Misalnya, mungkin Anda pernah mendengar seseorang yang melihat usaha orang lain ramai, lalu langsung berasumsi bahwa usaha tersebut menggunakan pesugihan atau praktik mistis lainnya.