Fakta ini menunjukkan bahwa anggapan bahwa semakin tinggi angka oktan, semakin bersih bahan bakarnya, tidak sepenuhnya benar. Seharusnya, pemerintah lebih mendorong penggunaan bahan bakar yang bersih daripada hanya fokus pada angka oktan yang tinggi.
Mengapa demikian? Karena bahan bakar yang bersih, misalnya dengan RON 91 tetapi memiliki kandungan sulfur maksimal 50 ppm, kadar olefin maksimal 20 ppm, dan kandungan benzene maksimal 2,5%, akan menghasilkan tingkat polusi yang jauh lebih rendah dibandingkan bahan bakar dengan angka oktan tinggi tetapi tetap memiliki kandungan sulfur yang tinggi.
Kesimpulannya, bahan bakar yang bersih adalah faktor utama dalam perkembangan industri otomotif. Jika industri otomotif ingin terus maju, maka kualitas bahan bakar harus ditingkatkan agar sesuai dengan teknologi kendaraan yang semakin berkembang. Jika tidak, maka industri otomotif di Indonesia akan terus tertinggal dibandingkan negara lain.
Baca Juga:Admin Aplikasi SEI Sudah Tidak Aktif Indikasi Kabur, Member Makin Resah Uangnya Tak Akan KembaliReview Lengkap Huawei Mate X6 Sebagai Ponsel Lipat Tercanggih yang Akan Masuk Indonesia
Terlebih lagi, saat ini terdapat kasus dugaan korupsi terbesar dalam sektor energi, yang berkaitan dengan manipulasi warna dan angka oktan bahan bakar. Menariknya, menurut Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), proses blending atau pencampuran beberapa jenis minyak bumi memang diperbolehkan dalam pembuatan bahan bakar minyak (BBM).
Alasannya, proses blending dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan bakar agar memenuhi spesifikasi yang diinginkan. Proses ini memerlukan campuran beberapa zat kimia aditif, seperti naphtha, yang merupakan produk sampingan dari penyulingan minyak mentah.
Di Indonesia, khususnya melalui Pertamina, bahan bakar impor seperti Pertamax 92 dapat ditingkatkan menjadi RON 95 atau RON 98 dengan menambahkan zat aditif. Secara teori, metode ini memang benar dan umum dilakukan.
Namun, permasalahannya adalah ketika terjadi ketidaksesuaian kualitas bahan bakar dengan spesifikasi yang dijanjikan, seperti Pertamax yang terasa seperti Pertalite, atau RON 92 yang kualitasnya mendekati RON 90. Masalah semakin diperparah dengan rendahnya kualitas Pertalite 90, yang dinilai sangat buruk. Akibatnya, masyarakat yang sudah membayar lebih untuk bahan bakar non-subsidi tetap mendapatkan kualitas yang jauh dari harapan, sehingga mengalami kerugian ganda.
SC: Fuse Box