Pahala tidak memungkiri, saat ini di Indonesia misalnya, kita masih mengimpor sekitar 95 persen bahan aktif produk farmasi. Begitu pun sekitar 70 persen peralatan medis, juga masih diimpor dari negara lain.
”Sekitar dua juta orang dengan sekitar enam setengah miliar dolar sebenarnya dikeluarkan oleh Indonesia. Tapi sebaliknya, mereka tidak mendapatkan tingkat layanan kesehatan yang tepat di Indonesia,” urainya.
”Ini menjadi tantangan bersama. Dan SOE ini bisa menjadi jembatan penyelaras antar negara dalam pengembangan transformasi kesehatan,” ujarnya.
Baca Juga:Bio Farma Raih Penghargaan IDC Future Enterprise Awards 2022 IndonesiaBio Farma Kembali Meraih Penghargaan Primaniyarta di Ajang Trade Expo Indonesia ke-37
Menurut Pahala, perlu ada regulasi bersama penanganan pandemi. Dan itu, adalah hal yang penting agar bisa menyelesaikan persoalan yang terjadi di berbagai negara yang diliputi pandemi, contoh ketika kekurangan dokter dan spesialis di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Hal yang tidak kalah penting, kombinasi digitalisasi dan teknologi harus ditujukan untuk pasien. Salah satu contohnya adalah aplikasi Peduli Lindungi. Aplikasi tersebut, selaian untuk meningkatkan meningkatkan manfaat bagi pasien, juga bagi pemerintah dengan program Universal Coverage (BPJS). ”Dengan kata lain, BUMN kesehatan memiliki healthcare ecosystem dari produksi, distribusi, dan layanan,” pungkasnya.
Senada dengan yang disampaikan Pahala, Direktur Utama Bio Farma Honesti Basyir menyampaikan bahwa Bio Farma bersama Holding BUMN Farmasi saat ini telah memainkan peran sebagai agent of development, “bagaimana BUMN Farmasi Indonesia bisa mengembangkan, memproduksi dan meningkatkan produk serta layanan yang terintegrasi menuju Ekosistem Layanan Kesehatan di Indonesia”.(*)