Usai masa tahanan habis, orang tuanya lantas menyekolahkan Bashar ke Kairo, Mesir. Di sana dia kemudian sekolah secara serius hingga berhasil kuliah di Amerika Serikat dan Inggris. Sejak itulah pandangan soal kekerasan sebagai cara terbaik melawan Israel mulai berubah.
Ketika tinggal di luar negeri sejak tahun 1990-an, Bashar mulai merintis karir. Dia diketahui kerja di banyak perusahaan manajemen dan konsultan yang berbasis di Arab Saudi, Amerika Serikat dan Inggris.
Tak cuma itu, mengutip Bloomberg International, dia juga mempunyai perusahaan sendiri yang bergerak di sektor real estate di Maroko, Libya, Yordania dan Mesir. Dari sini dia mulai memupuk kekayaan.
Baca Juga:Israel Mengakui Kehebatan Hamas: Banyak Ranjau dan JebakanSeorang Dokter Perempuan Rumah Sakit di Gaza Menemukan Putrinya Tewas
Meski begitu, kesuksesan tak membuat Bashar lupa tanah air. Dia beberapa kali ingin pulang kampung, tetapi selalu gagal. Pada 1991 dia sempat dideportasi Israel karena dianggap sosok berbahaya.
Barulah, pada 1994 pintu masuk ke Palestina mulai terbuka lebar. Dia langsung terbang ke Tel Aviv dan mengunjungi Nablus. Di sana dia terkejut melihat nasib warga Palestina yang begitu sengsara. Bahkan ada teman sekolahnya yang dulu pintar kini menjadi pengangguran akibat tak ada lapangan kerja.
“Sejak itu saya bertekad untuk membantu membangun bangsa dan memberikan kesempatan kepada rakyat Palestina,” kata Bashar.
Tekad itu kemudian terwujud lewat pembangunan kota modern pertama di Palestina bernama Rawabi. Rawabi diproyeksikan bakal menghabiskan dana US$ 1,4 miliar atau Rp 22 triliun yang semuanya murni mengandalkan investor di bawah naungan perusahaan investasi besutan Bashar, Massar International Ltd.
Selama pembangunan, Rawabi bakal memperkerjakan masyarakat lokal. Bagi Bashar, ini adalah perjuangan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, pendidikan dan pembangunan bangsa. Dengan hadirnya lapangan kerja, maka Palestina bisa tumbuh. Jika itu semua tercapai, maka masyarakat Palestina bisa menemui kemerdekaannya.