Hal ini mirip dengan cara yang digunakan oleh para kreator YouTube pemula untuk menunjang keberhasilan mereka. Begitu pula dengan para kreator Facebook, yang kemudian bergabung dalam komunitas atau grup antar kreator. Di sana, para anggota saling berbagi tips dan trik untuk membuat video mereka ramai dan viral.
Salah satu trik yang mereka ketahui adalah bahwa semakin banyak komentar, semakin besar kemungkinan video tersebut menjadi viral. Akhirnya, mereka pun mengakali algoritma dengan saling mengunjungi konten kreator lain dan memberikan komentar template, seperti “Salam interaksi ya, Bun!” dan sejenisnya.
Padahal, interaksi yang sesungguhnya seharusnya terjadi karena konten yang diposting memang benar-benar menarik dan memancing penonton untuk memberikan komentar, sehingga terjalin interaksi yang alami antara penonton dan kreator.
Baca Juga:7 Rekomendasi Wisata di Chiang Mai Thailand Paling Menarik Tahun 202510 Ciri-Ciri Ponsel Terinfeksi APK Berbahaya dan Cara Mengatasinya
4. Hanya Ibu-Ibu Naif
Tidak ada yang salah dengan video-video acak dari para ibu-ibu selama mereka tidak membuat konten yang vulgar atau merendahkan diri sendiri. Kita seharusnya menyadari bahwa mereka hanyalah ibu-ibu yang mencoba peruntungan sebagai kreator di Facebook dengan keterampilan editing video seadanya.
Meskipun kita mungkin melihatnya sebagai hal yang aneh, bagi mereka, video seperti itu merupakan karya seni visual yang menarik. Sebagai generasi yang lebih melek teknologi, kita seharusnya dapat mencontoh kegigihan mereka dalam mencapai tujuan dan memanfaatkan kesempatan yang ada. Pada akhirnya, jika kalian memiliki pandangan yang berbeda tentang fenomena ini, itu adalah hal yang sah.