SUKABUMI EKSPRES – Siapa di sini yang merasa sudah bekerja keras, banting tulang dari pagi hingga pagi lagi, tetapi kondisi finansial tetap stagnan? Seperti berlari di atas treadmill—lelah, keringat bercucuran, tetapi tidak maju-maju.
Jika Anda merasa demikian, mungkin Anda sedang terjebak dalam toxic productivity dalam finansial. Istilah ini mungkin terdengar asing, tetapi kenyataannya, fenomena ini sangat sering terjadi di sekitar kita—bahkan mungkin kita sendiri sedang mengalaminya.
Lalu, apa itu toxic productivity dalam finansial? Secara sederhana, ini adalah kondisi di mana seseorang sangat sibuk bekerja dan melakukan banyak hal yang terlihat produktif, tetapi sebenarnya tidak mengarah pada tujuan finansial yang diinginkan. Ibarat menyusun puzzle dengan gambar yang salah—sibuk, lelah, tetapi tidak menghasilkan sesuatu yang berarti.
Baca Juga:Kronologi Skandal Aktor Kim Soo Hyun Menjadi Penyebab Kematian Kim Sae RonSejarah Puasa Ramadan dari Zaman Nabi Adam hingga Masa Kini
Contohnya banyak sekali. Misalnya, seorang pekerja lepas (freelancer) yang mengambil semua pekerjaan yang ada, bekerja dari dini hari hingga larut malam, tetapi ketika dihitung, pendapatan per jamnya sangat kecil. Kesehatan terganggu, waktu untuk diri sendiri dan orang tersayang pun hilang.
Atau seorang pemilik usaha kecil yang mengurus semua aspek bisnis sendirian, mulai dari produksi, pemasaran, hingga pengemasan, tanpa istirahat, tetapi keuntungan yang diperoleh sangat minim—bahkan terkadang merugi.
Itulah toxic productivity dalam finansial. Kita sibuk, kita lelah, tetapi uang yang dihasilkan tidak sebanding dengan usaha yang telah dikeluarkan. Kita merasa bersalah jika tidak bekerja dan selalu ingin terlihat produktif, padahal produktivitas tersebut tidak efektif maupun efisien. Yang lebih buruk, kondisi ini dapat menyebabkan stres dan mengurangi kebahagiaan dalam hidup.
Penyebab Toxic Productivity
Ada beberapa alasan mengapa kita terjebak dalam lingkaran Toxic Productivity.
1. Budaya Hasil
Di era media sosial seperti sekarang, kita sering disuguhkan citra orang-orang sukses yang tampaknya bekerja tanpa mengenal waktu—tidur hanya empat jam sehari dan terus hustle 24/7. Pola pikir ini membuat kita merasa bahwa jika tidak melakukan hal yang sama, kita tidak keren, tidak sukses, dan ketinggalan zaman. Padahal, budaya kerja berlebihan (hustle culture) yang toxic justru dapat menyebabkan kelelahan (burnout), mengganggu kesehatan mental, dan pada akhirnya menjadi kontraproduktif.