SUKABUMI – Warga Kabupaten Sukabumi, Deni Sukandar, mengajukan permohonan praperadilan terhadap tujuh pimpinan lembaga negara karena laporannya tidak ditindaklanjuti. Pelaporan tersebut berkaitan dengan dugaan praktik mafia tanah.
Ketujuh pimpinan lembaga yang dilaporkan untuk dipraperadilkan yaitu Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Sukabumi, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Jaksa Agung RI, Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Barat, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sukabumi, serta Ketua Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat
Permohonan praperadilan itu telah terdaftar di Pengadilan Negeri (PN) Cibadak pada 24 November 2025 dengan nomor perkara 4/Pid.Pra/2025/PN.Cbd.
Baca Juga:Akses Jalan ke Desa Sirnajaya Putus Akibat Longsor, Mobilitas Warga TergangguKapolsek Simpenan Pimpin Evakuasi Longsor Agar Arus Lalu Lintas Lancar
“Sidang pertama digelar pada 5 Desember 2025, namun para pihak tidak hadir. Sidang lanjutan akan berlangsung 9 Januari 2026,” jelas Amiruddin, kuasa hukum pemohon, kemarin (15/12).
Amiruddin menegaskan, praperadilan diajukan karena para termohon tidak menindaklanjuti laporan dugaan tindak pidana korupsi terkait peralihan tiga Sertifikat Hak Milik (SHM) kliennya yang diduga kuat melibatkan jaringan mafia tanah. Nilai kerugian ditaksir mencapai Rp 64,3 miliar berdasarkan asumsi harga tertinggi Rp 2,5 juta/m² untuk total luas 24.520 m².
“Tiga SHM hilang dan beralih nama tanpa persetujuan klien kami, padahal ketiganya sedang diblokir secara sah. Ini indikasi kejahatan, bukan pelayanan publik profesional,” tegasnya.
Kasus ini bermula pada Agustus 2022 saat korban memperoleh fasilitas kredit usaha dari PT Awan Tunai Indonesia, dengan jaminan modal 20%—tanpa menyerahkan sertifikat tanah.
Namun pada 26 Januari 2024, korban memberikan tiga SHM atas dasar kepercayaan. Selanjutnya, pada 20 Mei 2025, korban menandatangani tiga akta di hadapan Notaris Hasnah yaitu: Akta penyerahan jaminan sukarela (No. 03), Akta kuasa menjual (No. 04), Akta kuasa membebankan hak tanggungan (No. 05)
Namun karena tidak ada transparansi harga dan khawatir terjadi penyalahgunaan, korban mengajukan pemblokiran seluruh SHM pada 3 Juni 2025. Korban kemudian mendapat kepastian dari pegawai BPN Sukabumi dan Kanwil BPN Jawa Barat bahwa balik nama tak akan terjadi karena tanah telah diblokir.
Untuk memperkuat perlindungan hukum, pada 10 Oktober 2025, korban mengajukan Akta Pembatalan atas kuasa menjual tersebut. Anehnya, korban mendapat informasi bahwa ketiga SHM sudah beralih hak, namun tidak pernah diberi tahu siapa pembelinya.
