Makna, Filosofi dan Sejarah Ketupat Sebagai Tradisi Lebaran

Ilustrasi
Ilustrasi
0 Komentar

Selain di Indonesia, ketupat juga dijumpai di Malaysia, Brunei, dan Singapura. Di Filipina juga dijumpai bugnoy yang mirip ketupat, namun dengan pola anyaman berbeda.

Ada dua bentuk utama ketupat yaitu kepal bersudut 7 (lebih umum) dan jajaran genjang bersudut 6. Masing-masing bentuk memiliki alur anyaman yang berbeda. Untuk membuat ketupat perlu dipilih janur yang berkualitas yaitu yang panjang, tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua.

Di antara beberapa kalangan di Pulau Jawa, ketupat sering digantung di atas pintu masuk rumah sebagai semacam jimat. Ada masyarakat yang memegang tradisi untuk tidak membuat ketupat di hari biasa.

Baca Juga:BPK RI Kunjungan Exit Meeting ke Kota SukabumiPemkot Salurkan Hibah dan Bansos untuk LKS

Sehingga ketupat hanya disajikan sewaktu lebaran dan hingga lima hari (Jawa, sepasar) sesudahnya. Bahkan ada beberapa daerah di Pulau Jawa yang hanya menyajikan ketupat di hari ketujuh sesudah lebaran saja atau biasa disebut dengan Hari Raya Ketupat.

Di pulau Bali, ketupat (di sana disebut kipat) sering dipersembahkan sebagai sesajian upacara. Selain untuk sesaji, di Bali ketupat dijual keliling untuk makanan tambahan yang setaraf dengan bakso. Terutama penjual makanan ini banyak dijumpai di Pantai Kuta dengan didorong keliling.

Tradisi ketupat (kupat) Lebaran,  menurut cerita adalah simbolisasi ungkapan dari bahasa Jawa ku = ngaku (mengakui) dan pat = lepat (kesalahan) yang digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam mensyiarkan ajaran Islam di Pulau Jawa yang pada waktu itu masih banyak yang meyakini kesakralan kupat.

Asilmilasi budaya dan keyakinan ini akhirnya mampu menggeser kesakralan ketupat menjadi tradisi Islam.

Ketika ketupat menjadi makanan yang selalu ada di saat umat Islam merayakan Lebaran sebagai momen yang tepat untuk saling meminta maaf dan mengakui kesalahan. (Nasrullah Zurkarnain)

0 Komentar