Secara ilmiah, gosip adalah alat untuk mempererat hubungan sosial. Dalam lingkungan yang lebih tradisional, di mana masyarakat masih sangat bergantung pada komunitasnya, gosip berperan sebagai pengikat.
Ketika seseorang berbagi informasi tentang orang lain, mereka merasa lebih dekat satu sama lain. Itulah mengapa dua orang yang awalnya tidak terlalu akrab bisa tiba-tiba merasa memiliki koneksi hanya karena mereka berbicara tentang tetangga yang baru saja membeli mobil.
Masalahnya, dalam lingkungan yang toksik, fungsi sosial dari gosip berubah menjadi senjata untuk menjatuhkan orang lain. Yang semula hanya berfungsi untuk mempererat hubungan justru menjadi alat untuk mengontrol, menghakimi, dan bahkan merusak reputasi seseorang.
Baca Juga:Catat! Ini Jadwal Flash Sale KAI Diskon Tiket Jelang Lebaran 2025Kiat Lengkap Menangani Mobil Terendam Banjir hingga Mesin Rusak Tak Perlu Langsung Panik
Mengapa orang lebih sering membicarakan aib tetangga daripada fokus pada kehidupannya sendiri? Jawabannya terletak pada beberapa faktor psikologis, salah satunya adalah perasaan superioritas. Ketika seseorang membicarakan kekurangan atau masalah orang lain, secara tidak sadar ia merasa lebih baik.
Ia mungkin tidak lebih sukses atau lebih bahagia dari orang yang sedang digosipkan, tetapi dengan mengetahui masalah orang lain, ia merasa memiliki keunggulan.
Di Indonesia, gosip bahkan sering dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan bisa dilakukan tanpa rasa bersalah. Misalnya, saat sedang memasak di dapur, tiba-tiba seorang ibu tetangga mampir dan mulai bercerita tentang keluarga sebelah yang dikabarkan sedang mengalami masalah rumah tangga.
Lalu, mengapa budaya ini terus bertahan? Salah satu alasannya adalah karena gosip juga berfungsi sebagai alat sosial untuk mengontrol perilaku orang lain. Dalam suatu lingkungan yang memiliki norma tertentu yang harus diikuti, gosip bisa menjadi cara untuk “menghukum” orang yang dianggap melanggar norma tersebut.
Contohnya, di sebuah kampung ada seorang perempuan yang tinggal sendiri dan belum menikah di usia 30-an. Meskipun itu bukan urusan orang lain, karena dianggap tidak sesuai dengan norma setempat, ia tetap menjadi bahan gosip.
Orang-orang mungkin tidak akan langsung mengonfrontasinya, tetapi mereka akan membicarakannya di belakang. Dari situlah tekanan sosial mulai muncul. Jika orang tersebut memiliki mental yang kuat, lama-kelamaan ia mungkin akan merasa perlu menyesuaikan diri agar tidak terus menjadi bahan pembicaraan.