Kasus pelecehan oleh oknum pendidik agama meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang selama ini dianggap suci. Bukannya mendidik, beberapa di antaranya justru menghancurkan kepercayaan anak-anak yang menitipkan harapan mereka.
Ironi lainnya muncul ketika tokoh agama saling beradu kata di ruang publik. Bukannya menyejukkan hati, mereka justru memanaskan emosi. Contohnya, perdebatan es teh yang viral ini menunjukkan bagaimana lisan yang seharusnya dijaga malah menjadi alat untuk merendahkan.
Masyarakat yang seharusnya mendapatkan inspirasi malah semakin kehilangan arah. Kita juga tak lupa tentang berbagai kasus lain yang mencoreng nama baik agama, seperti penyalahgunaan ajaran agama untuk kepentingan pribadi, praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, hingga tindakan kekerasan yang diklaim sebagai jihad.
Baca Juga:Film Horor Aplikasi Iblis Garapan Dimas Anggara Siap Tayang di BioskopReview Spesifikasi Vivo V50 5G: Desain Premium Penuh Keunggulan Fitur Menarik, Segini Harganya
Semua ini hanya memperkuat satu hal: religiusitas kita seringkali lebih kuat di simbol daripada substansi. Apa yang terjadi dengan Indonesia? Apakah kita benar-benar memahami ajaran agama, atau hanya sibuk menampilkan simbolnya tanpa meresapi esensinya?
Mungkin masalahnya bukan pada agama itu sendiri, tapi pada bagaimana kita memahaminya. Kita sering menganggap agama hanya sebagai label, sesuatu yang cukup kita tempelkan di permukaan, berharap dunia menganggap kita suci, baik, dan beradab.
Tapi hanya label seperti kain yang menutupi noda bisa menyembunyikan bau busuk di dalamnya. Seiring waktu, kain itu akan terkoyak, dan kita akan dipaksa melihat siapa diri kita yang sebenarnya.
Agama bukan sekadar ritual, bukan sekadar doa yang dilantunkan, pakaian yang dikenakan, atau tempat ibadah yang dibangun. Agama adalah tentang bagaimana kita memilih hidup di setiap harinya—saat tak ada orang yang melihat, saat tak ada kamera, saat tak ada pujian.
Dan di sinilah letak paradoks terbesar kita. Kita membangun masjid megah, tapi lupa membangun hati. Kita mengecam dosa orang lain, tapi lupa menginstrospeksi dosa sendiri.
Indonesia adalah potret dari manusia itu sendiri. Di satu sisi, ada cahaya, namun di sisi lain ada bayangan yang begitu gelap. Kita berjalan di antara dua kutub itu terus-menerus, berjuang melawan godaan, rasa takut, dan ambisi. Mungkin kita harus kembali ke inti dari segalanya.