SUKABUMI EKSPRES – Pernahkah Anda merasa bahwa hidup ini seolah bukan benar-benar milik Anda sendiri? Setiap kali ingin melakukan sesuatu, selalu ada saja komentar dari orang lain. Ingin membeli sesuatu, ada yang bertanya dari mana uangnya.
Ingin menikah, ditanya kapan punya anak. Sudah punya anak, ditanya kapan menambah. Saat sudah tua, bahkan ditanya kapan meninggal. Seolah apa pun yang Anda lakukan selalu menjadi urusan orang lain, seakan-akan mereka memiliki hak untuk mengatur hidup Anda.
Di Indonesia, tetangga bukan sekadar orang yang tinggal di sebelah rumah. Mereka bisa menjadi semacam “keluarga tambahan” yang tanpa diminta selalu ingin tahu urusan pribadi Anda. Di satu sisi, mereka bisa bersikap baik dan membantu ketika Anda mengalami kesulitan. Namun, di sisi lain, mereka juga bisa menjadi sumber stres terbesar dalam hidup.
Baca Juga:Catat! Ini Jadwal Flash Sale KAI Diskon Tiket Jelang Lebaran 2025Kiat Lengkap Menangani Mobil Terendam Banjir hingga Mesin Rusak Tak Perlu Langsung Panik
Pertanyaannya, mengapa budaya ini masih begitu kuat? Mengapa orang lebih sibuk mengurusi hidup orang lain daripada fokus pada hidupnya sendiri? Apa yang membuat lingkungan seperti ini terus bertahan, bahkan semakin parah?
Kami akan membahas fenomena ini dari perspektif psikologi sosial. Kita akan melihat bagaimana pola pikir kolektif, tekanan sosial, dan mentalitas masyarakat berkontribusi dalam membentuk lingkungan yang toksik bagi banyak orang.
Penyebab Fenomena Tetangga Toksik
Pernahkah Anda mengalami situasi di mana sedang mengobrol santai dengan seseorang, tetapi tanpa sadar pembicaraan beralih menjadi membahas kehidupan orang lain? Awalnya, Anda hanya ingin berbincang ringan, tetapi entah bagaimana, obrolan berubah menjadi gosip—membahas siapa yang baru bercerai, siapa yang tiba-tiba menjadi kaya, atau siapa yang sedang mengalami masalah di tempat kerja.
Gosip bagaikan udara dalam lingkungan sosial—tidak terlihat, tetapi ada di mana-mana. Baik di perumahan elite maupun gang sempit, di kota maupun desa, gosip selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Ada yang menganggapnya sebagai hiburan, ada pula yang menganggapnya sebagai budaya. Namun, jika ditinjau dari sudut pandang psikologi sosial, gosip sebenarnya memiliki fungsi yang lebih dalam daripada sekadar berbicara tentang orang lain.