SUKABUMI EKSPRES – Di Indonesia, sesi foto wisuda sering disambut layaknya perayaan besar yang menandai “tiket resmi” menuju kesuksesan. Orang tua pun terbiasa berkata bahwa setelah meraih gelar sarjana, hidup akan lebih aman, seolah-olah ijazah adalah jaminan akhir. Namun, di balik kemegahan toga, sering kali terdapat kesenjangan antara gelar akademik di atas kertas dan keahlian di lapangan.
Saat ini, kita melihat tren universitas yang mempromosikan program kilat atau fast track, seakan-akan masa kuliah adalah hambatan yang harus dipangkas. Mahasiswa pun berbondong-bondong mengejar gelar tanpa benar-benar memperhatikan kualitas ilmu yang mereka peroleh. Ironisnya, banyak dari mereka baru menyadari ada yang hilang ketika memasuki dunia kerja.
Saat melamar pekerjaan, lulusan instan sering kali kewalahan menghadapi tes seleksi yang menguji logika dan keterampilan. Tidak jarang perusahaan mengeluhkan lulusan dengan IPK tinggi tetapi tidak memahami cara membuat laporan keuangan sederhana.
Baca Juga:Menyikapi Fenomena Ormas Ramai Minta THR Jelang LebaranBocoran Spesifikasi Poco F7 Ultra Usung Prosesor Snapdragon 8 Elite Terbaru, Ini Review Lengkapnya
Di sisi lain, lulusan otodidak yang menguasai keterampilan tertentu justru tersingkir karena tidak memiliki ijazah. Fenomena ini pun memunculkan pertanyaan kritis. Apakah kuliah hanya sekadar ajang mengoleksi gelar akademik?
Memahami Fungsi Kampus
Hal pertama yang perlu dibahas adalah bahwa kampus merupakan lembaga pendidikan, bukan pabrik tenaga kerja. Kita harus memahami perbedaan antara hakikat perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan dan kebutuhan industri akan tenaga kerja.
Universitas didirikan untuk menumbuhkan pemikiran kritis, membangun karakter ilmiah, serta memperluas wawasan pengetahuan, bukan sekadar mencetak pekerja terampil.
Namun, kenyataannya, banyak kampus ala kadarnya bermunculan dengan nama megah dan janji manis, menawarkan program wisuda cepat. Kampus-kampus abal-abal ini menjadi pilihan bagi mahasiswa yang ingin mencantumkan gelar di CV sebelum usia 22 tahun.
Sistem SKS hanya dijadikan formalitas, skripsi dibuat melalui jasa tertentu, magang dilakukan di perusahaan fiktif milik dosen, dan kehadiran kuliah cukup dibuktikan dengan swafoto di depan ruang kelas.
Misalnya, Budi, seorang mahasiswa, berkata kepada temannya, “Aku membayar lebih mahal, tapi bisa lulus setahun lebih cepat, loh!” Temannya pun menimpali, “Serius? Lalu bagaimana dengan kualitas perkuliahan?”