SUKABUMI EKSPRES – Kata “Jawa” tampaknya sudah menjadi sesuatu yang umum diucapkan atau diketik, baik di tempat umum maupun di media sosial.
Ungkapan seperti “Jawa, Jawa, Jawa lagi, Jawa lagi, tebak suku” terkait suku Jawa sering kali kita temui, baik di lingkungan media sosial, sekolah, maupun kampus.
Candaan mengenai suku Jawa sudah dianggap sebagai sesuatu yang biasa, bahkan terkesan lumrah, terutama dengan semakin maraknya konten-konten yang memperkuat stigma negatif terkait hal ini.
Baca Juga:6 Hal yang Perlu Diperhatikan Sebelum Mengambil KPR Agar Tidak MenyesalLuar Biasa, DeepSeek Diklaim Lebih Canggih Daripada ChatGPT Milik Open AI
Tidak sulit menebak isi komentar dalam unggahan semacam itu, yang hampir selalu mengarah pada stereotip tentang Jawa. Stigma ini seolah sudah mengakar dan mendarah daging.
Contohnya, ketika melihat seseorang yang berpenampilan tertentu seperti “jamet,” kulit hitam, mabuk, atau berperilaku rusuh, banyak orang langsung berasumsi bahwa mereka berasal dari Jawa—padahal belum tentu demikian.
5 Penyebab Suku Jawa Sering jadi Korban Rasisme
Dalam kesempatan ini, kita akan membahas mengapa suku Jawa menjadi salah satu suku di Indonesia yang paling sering menjadi sasaran rasisme.
1. Rasisme Semakin Dinormalisasi
Seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, rasisme di Indonesia sudah menjadi sesuatu yang sangat umum dan bahkan dinormalisasi. Sering kali, kita tidak menyadarinya karena sudah dianggap sebagai hal yang biasa.
Misalnya, anggapan bahwa suku Jawa identik dengan “freak,” “jamet,” atau memiliki sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Seiring waktu, pandangan ini terus mengakar di masyarakat hingga banyak yang benar-benar meyakini bahwa seluruh orang Jawa memiliki karakteristik tersebut.
Padahal, kenyataannya tidak demikian. Banyak tokoh hebat berasal dari Jawa, seperti Raden Ajeng Kartini, WR Supratman, Ki Hajar Dewantara, dan Jenderal Sudirman. Mereka adalah sosok-sosok luar biasa yang berjuang demi bangsa ini—bangsa tempat kita hidup saat ini.
Meskipun kami menggunakan Jawa sebagai contoh, hal ini juga berlaku bagi suku atau agama lain. Kita tentu sudah sering mendengar stereotip seperti “orang Cina pasti pelit,” “kalau bermata sipit pasti keturunan Tionghoa,” atau mengaitkan agama tertentu dengan konflik dan kriminalitas, misalnya menganggap bahwa setiap teroris pasti beragama Islam. Semua anggapan ini merupakan bentuk rasisme.