SUKABUMI EKSPRES – Setiap dari kita pasti memiliki standar dalam memilih pasangan yang menurut kita ideal, entah dari segi fisik, kondisi finansial, sifat, atau aspek lainnya.
Sebenarnya, memiliki kriteria tertentu dalam memilih pasangan merupakan hal yang normal, bahkan memang seharusnya dilakukan. Sebab, kita tidak bisa begitu saja menerima tanpa pertimbangan, lalu akhirnya hancur di tengah jalan karena sejak awal memang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan.
Selain itu, memilih pasangan dengan kriteria tertentu adalah sifat alami manusia untuk memenuhi kebutuhan emosional dan biologis. Secara biologis, manusia memiliki dorongan untuk mencari pasangan yang dianggap mampu meningkatkan peluang kelangsungan keturunan.
Baca Juga:Sejarah Dwifungsi ABRI Sebagai Cikal Bakal RUU TNI yang Hancurkan Demokrasi3 Teori Alam Semesta dan Kehidupan di Luar Planet Bumi
Dalam psikologi evolusi, hal ini disebut sebagai mate selection, yaitu proses pemilihan pasangan, di mana pria dan wanita memiliki preferensi yang berbeda tetapi saling melengkapi.
Misalnya, pria cenderung mencari perempuan yang sehat, subur, dan lebih muda, sedangkan perempuan cenderung mencari pria yang mapan, kuat secara fisik, serta memiliki kriteria lainnya. Perbedaan ini merupakan hal yang wajar karena setiap individu memiliki standar masing-masing dalam memilih pasangan.
Lagipula, kriteria pasangan bersifat subjektif. Apa yang dianggap ideal bagi kita belum tentu ideal bagi orang lain, begitu pula sebaliknya. Karena kriteria tersebut bersifat subjektif, seharusnya pemilihan pasangan tidak bisa ditentukan oleh aturan-aturan yang dibuat oleh orang lain, melainkan murni berdasarkan preferensi diri sendiri.
Namun, realitas saat ini berbeda. Masuknya era media sosial justru merusak preferensi banyak orang dalam menentukan kriteria pasangan ideal. Kriteria yang seharusnya bersifat subjektif kini seolah-olah memiliki standar minimum tertentu agar seseorang dapat dikatakan sebagai pasangan yang ideal.
Bahkan, hal-hal yang seharusnya dipandang sebagai effort atau usaha lebih kini dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja—bahkan menjadi standar minimum untuk bisa mendapatkan pasangan yang diinginkan.
Sebenarnya, fenomena seperti ini bisa terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan. Namun, jika kita melihat realitas saat ini, laki-laki cenderung lebih banyak mendapatkan tuntutan untuk bisa menjadi segalanya. Hal ini karena masyarakat masih memegang pola pikir bahwa laki-laki adalah pihak yang harus memimpin, menafkahi, dan menyediakan segala sesuatu dalam hubungan.